AESI Berkomitmen Mendorong Demokrasi Energi Melalui PLTS

Listrik Indonesia | Asosiasi Energi Surya Indonesia atau AESI terus berkomitmen untuk mewujudkan visi besar iuntuk mendorong Indonesia melakukan transisi energi berbasis energi terbarukan. Indonesia memiliki segudang potensi energi terbarukan, mulai dari tenaga angin, bayu, air, dan surya.
Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa mengatakan, bangsa Indonesia memiliki kemampuan, baik secara teknis dan ekonomi menuju net zero emission di 2050. “Komitmen net zero emission Indonesia, khususnya melalui program penurunan emisi di bidang pembangkit ketenagalistrikan dengan melakukan transisi eneri melalui energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS),” ujar Fabby, dalam acara diskusi dengan media, di kawasan Menteng, Jakarta, Selasa (1/6/2021).
Menurut Fabby, peran energi surya sangat penting. Dia mencontohkan jika melihat dari energy system, yang meliputi pembangkit listrik, industri, dan transportasi yang kini mulai mengarah ke penggunaan kendaraan listrik untuk melakukan dekarbonisasi melalui electrification maka kebutuhan pembangkit listrik di 2050 sebesar 1600 GW.
“Dari 1600 GW ini sebesar 85 persen potensi ini ada pada energi surya sehingga sangat penting dalam transisi energi di Indonesia. AESI akan terus mendorong dan mengakselerasi pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Tanha Air,” ujar pria yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR).
Dia menambahkan yang mejadi pertanyaan adalah mengapa energi surya? Pertama, wilayah Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Miangas Sampai Pulau Rote, mulai pukul 6 pagi hingga 6 sore memiliki energi surya. Kedua, energi surya relative mudah diakses karena teknologi modular, kecil, bisa di scalable, dan mudah diakses.
Lanjut dia, ketiga, energi surya cepat dapat segera digunakan dan instalasi PLTS cepat dilakukan. “Keempat, PLTS merupakan bentuk demokratisasi energi sebab dari semua kalangan dapat mengunakan energi surya dan investasinya semakin hari semakin terjangkau,” jelas Fabby.
Jika 10 tahun ke belakang, dia menambahkan, biaya investasi untuk 1 kilowatt-peak (kWp) dapat mencapai lebih dari US$1500. “Saat ini, untuk 1kWp sudah mencapai US$400 hingga US$500. Jadi biaya investasinya sudah turun sekitar 90 persen sehingga harga semakin terjangkau,” tegas dia.
Fabby menjelaskan, saat ini di Indonesia untuk skala perumahaan harga investasi berkisar Rp13 juta hingga Rp 18 juta untuk modul surya dan tergantung pemilihan inverter yang akan digunakan untuk mengubah arus DC ke AC. “Sebagai perbandingan di 2017 harga investasi untuk PLTS sebesar 1 Kwp berkisar antara Rp20 juta hingga 25 juta. Bahkan, PLTS dapat dipantau melalui aplikasi di smartphone atau ada personalize. Tidak ada teknologi se-fleksibel PLTS,” ucap dia.
Impor Versus TKDN
Terkait pemberlakukan regulasi pemerintah tentang tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) sebesar 40 persen di industri panel surya, AESI berharap pemerintah lebih fleksibel dalam menerapkan aturan tersebut. “Hal ini untuk mengakselerasi transisi energi melalui PLTS di Tanah Air. Aturan TKDN sebesar 40 persen untuk modul surya dapat menghambat akselerasi pengembangan PLTS karena industri hulu panel surya dalam negeri belum berkembang sehingga kebutuhan komponen PLTS sebagian besar masih dipenuhi dari impor,” kata Fabby.
Dia menegaskan, untuk memenuhi TKDN sebesar 40 persen sangat sulit. Fabbry beralasan, sebab industri sel surya belum ada. “Kami ingin berdiiskusi dengan Menteri Perindustrian untuk melakukan relaksasi aturan syarat tersebut. Beri waktu untuk pembangunan industri modul surya terlebih dahulu dan kemudian baru diterapkan aturan TKDN-nya,” jelas dia.
Dalam pengembangan PLTS, Fabby memberikan contoh, di India tidak memberlakukan aturan aturan TKDN yang ketat ketika masa awal pengembangan PLTS pada 2008. “Setelah permintaan PLTS di negaranya cukup besar dan kemampuan produksi modul suryanya telah mencapai sekitar 10 gigawatt (GW) per tahun, Pemerintah India baru mengetatkan syarat TKDN untuk proyek PLTS yang didanai pemerintah,” kata dia.
Lebih lanjut dia menjelaskan, dengan belum berkembangnya industri modul surya dalam negeri dan adanya syarat TKDN juga mengakibatkan harga listrik dari PLTS sulit ditekan. “saat ini, PLN maunya US$4 sen per kWh. Dengan harga modul surya dalam negeri saat ini, jangankan harga US$4 sen, US$9 sen saja susah. Jika ingin seharga US$4 sen, kita terpaksa harus membuka keran impor modul surya, tetapi ada kendala aturan ketentuan TKDN,” imbuh Fabby. (TS)
0 Komentar
Berikan komentar anda