MEGA PROJECT NEWS POWER TECH
Trending

Bagaimana Kondisi PLTU di Indonesia ?

Bagaimana Kondisi PLTU di Indonesia ?
Ilustrasi

Listrik Indonesia | Paris Agreement telah menggaungkan pemanfaatan energi terbarukan di seluruh dunia. Perlahan penggunaan bahan bakar fosil khususnya batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mulai dikurangi. Bagaimana kondisi PLTU di Indonesia ?

Saat ini, pembiayaan untuk pembangunan PLTU dibatasi bahkan dihentikan oleh perbankan seperti baru-baru ini The Japan Bank for International Cooperation (JBIC), Mizuho, dan Japan’s Sumitomo Mitsui Financial Group Inc (SMFG). Pernyataan pertama disampaikan Mizuho. Bank ini berniat memangkas saldo kredit untuk sektor pembangkit listrik bertenaga batu bara hingga 300 miliar yen atau setara AS$2,8 miliar pada 2030. Kemudian, penyetopan total pembiayaan proyek PLTU batu bara akan dilakukan mulai 2050.

Setelah itu, SMFG menyatakan niat tidak akan memberikan pinjaman untuk proyek serupa. Presiden JBIC Tadashi Maeda mengklaim bahwa perusahaannya tak akan lagi membiayai proyek PLTU batu bara baru. Perubahan kebijakan tersebut dipicu tekanan dari aktivis dan kelompok lingkungan agar perusahaan jasa keuangan membantu mengatasi perubahan iklim yang banyak disumbang oleh PLTU batu bara. Sulitnya mendapatkan pembiayaan untuk membangun PLTU diakui  oleh developer pembangkitan dalam negeri.

Sementara itu, keberadaan PLTU di Indonesia diunggulkan untuk mengejar target proyek 35.000 Mega Watt (MW). Di sisi lain keberadaan PLTU berbenturan dengan faktor lingkungan dan komitmen  Paris Agreement. Lalu bagaimana PLTU di Indonesia berakselerasi ?

Karakteristik batu bara Indonesia termasuk kualitas rendah dan sedang. Tentu ini akan menambah beban polusi udara. Kendati demikian, teknologi pada PLTU terus dikembangkan demi meminimalisasi emisi. Penggunaan ultra super critical bisa menurunkan emisi 20-30% di pembangkit seperti yang digunakan oleh GH EMM Indonesia pada pembangkitnya yang berada di Sumatera Selatan.

Kemudian PT PLN (Persero) secara berkelanjutan mengembangkan PLTU yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya adalah PLTU Tanjung Jati B, yang terletak di Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah. PLTU Tanjung Jati B menerapkan teknologi Flue Gas Desulfurization (FGD), yang digunakan untuk menghilangkan sulfur dioksida (SO2) dari emisi gas buang pembangkit listrik berbahan bakar fosil batubara.

FGD merupakan proses pencampuran emisi gas hasil pembakaran batu bara dengan batu kapur basah agar kandungan SO2 yang dilepaskan ke atmosfer, sehingga tidak mencemari udara. Efektivitasnya mencapai 95%, sehingga SO2 yang dibuang melalui cerobong PLTU Tanjung Jati B hanya di kisaran 300 mg/Nm3 dari baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 550 mg/ Nm3.

Dengan penerapan teknologi FGD di PLTU Tanjung Jati B, PLN mampu memanfaatkan keunggulan keekonomian konversi energi fosil batubara sebagai penghasil energi listrik yang murah, namun tetap ramah bagi lingkungan.

Selain itu, dalam hal penanganan limbah pembakaran batubara, PLN Tanjung Jati B mengembangkan inovasi dalam memanfaatkan fly ash dan bottom ash (FABA). Selain dimanfaatkan sebagai bahan baku industri oleh produsen semen, FABA juga telah diolah menjadi batako, paving, dan beton pracetak. Ditambah pemerintah sedang menguji coba sistem Cofiring Biomassa pada PLTU.

Dari sinilah PLTU dinilai masih relevan untuk 10-30 tahun ke  depan demi mengejar target dari program 35.000 MW. Akan tetapi, potensi batu bara juga perlu diperhatikan karena semakin menyusut sembari mengembangkan energi terbarukan. (Cr)

 

 

 


Related Articles

0 Komentar

Berikan komentar anda

Back to top button