Current Date: Selasa, 10 Desember 2024

Pentingnya Keadilan dalam Pengaturan HGBT

Pentingnya Keadilan dalam Pengaturan HGBT
Listrik Indonesia | Kisruh soal masih banyaknya industri yang belum mendapat pasokan gas murah sempat menjadi berita hangat. Hal itu terungkap saat seorang legislatif dalam rapat kerja Komisi VII-DPR RI pada 11 April 2023 lalu yang mengungkapkan kekecewaannya karena masih banyak industri yang belum memperoleh pasokan dari kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) atau gas murah yang seharga US$ 6 per Millions British Thermal Units (MMBTU) bagi para pelaku industri.

Pembatasan kuota volume gas murah yang dihadapi sejumlah industri, ditengarai sebagai pemicunya. Padahal jika mau jujur, sejak awal Pemerintah sudah berkomitmen tidak akan ada hambatan birokrasi maupun pengurangan pasokan terhadap HGBT. Karena insentif dari pemerintah itu memiliki tujuan mulia, yaitu mendorong industri lewat sokongan gas murah.

Jika mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 121 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Beberapa perubahan pada sebagian dari pasal 1, 3, 4, 5 dan 9. Pertama, penulis berupaya untuk melihat pada pasal 3 yang berkenaan dengan penetapan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) bagi pengguna gas bumi yang bergerak di bidang industri pupuk, industri petrokimia, industri oleochemical, industri baja, industri keramik, industri kaca, dan industri sarung tangan karet.

Prof. Taufan Marhaendrajana, pengajar Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung, mengungkapkan bahwa pada pasal 3 ayat (1) Perpres No 121 Tahun 2020 berbunyi: “Menteri menetapkan Harga Gas Bumi Tertentu di titik serah (plant gate) dengan harga paling tinggi US$ 6/MMBTU.”

Menurutnya ayat tersebut memberikan satu tafsir yang pasti bahwa pengguna gas di bidang industri dimaksud akan mendapat jaminan untuk mendapatkan harga gas paling tinggi sebesar US$ 6/MMBTU, terlepas rancangan skema atau formula penentuan harga yang dievaluasi tiap tahun oleh institusi atau badan yang diberikan kewenangan oleh Perpres No. 121 Tahun 2020 tersebut.

“Kita bisa membandingkan pada Perpres No 40 Tahun 2016 sebelumnya berbunyi: dalam hal Harga Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna Gas Bumi dan Harga Gas Bumi lebih tinggi dari US$ 6/MMBTU, Menteri dapat menetapkan Harga Gas Bumi Tertentu,” jelasnya kepada Listrik Indonesia dalam keterangan tertulisnya (28/4).

Ia juga menjelaskan bahwa dalam hal ini dapat kiranya ditafsirkan bahwa HGBT akan ditetapkan oleh Menteri pada kondisi harga gas dimana kedua syarat yang dimaksud (a. keekonomian industri pengguna tidak terpenuhi, b. harga gas bumi lebih tinggi dari US$ 6/MMBTU) tercapai.

“Jadi terlihat perbedaan penekanan dari Perpres no 121 Tahun 2020 ini yang tentunya lebih memberikan dukungan lebih kepada pengguna gas bumi di tujuh bidang industri termaksud tanpa terkecuali,” ungkapnya.

Menurutnya, Perpres tersebut sudah sangat bijaksana di antaranya dengan memperhatikan kepentingan penyedia gas bumi, kemampuan daya beli konsumen, serta nilai tambah terhadap perekonomian nasional. Namun katanya, dengan adanya informasi seputar rapat DPR tersebut, seolah Pemerintah belum memberikan HGBT tersebut kepada seluruh perusahaan yang terdaftar di dalam 7 industri, sehingga masih terlihat ketidakadilan dalam pelaksanaannya.

“Pengaturan HGBT (Harga Gas Bumi Tertentu) melalui Perpres yang sudah dilakukan adalah sesuatu yang baik dan perlu didukung baik oleh penyedia gas bumi maupun oleh pengguna gas bumi. Namun Pemerintah sebaiknya adil dalam melaksanakannya,” imbuhnya.
Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

Berita Lainnya

Index