Listrik Indonesia | Dalam tulisannya yang menarik, Dr Kurtubi Alumnus Colorado School of Mines, Institut Francaise du Petrole yang mengungkapkan cara efisien agar Pertamina bisa menggarap LNG ke Masela. Penemuan cadangan gas di lapangan Abadi, Maluku Selatan ( Masela) sekitar tahun 1999-2000 adalah hasil dari Kontrak Bagi Hasil "B2B" antara PERTAMINA dan INFEX pada tahun 1998.
Kata dia yang juga pengamat energi nasional. Sewaktu PERTAMINA masih memegang Kuasa Pertambangan berdasarkan UU No.44/Prp/1960
dan UU No.8/1971. Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada diperut bumi, termasuk migas menurut Pasal 33 UD45 harus dikuasai oleh negara. Bentuk penguasaan oleh negara adalah dengan cara negara membentuk Perusahaan Negara dengan UU dan diberikan Kuasa Pertambangan.
Dalam hal SDA Migas, lewat UU No.8/1971 negara membentuk Perusahaan Negara Pemegang
Kuasa Pertambangan ( PNPKP) bernama PERTAMINA. Didisain sebagai Perusahaan terintegrasi yang bergerak dari hulu sampai hilir.
PERTAMINA sebagai pemegang Kuasa Pertambangan, sangat dihormati dan memperoleh
kepercayaan (Trust) yang tinggi dari semua perusahaan minyak dunia dan juga dari lembaga
keuangan/perbankan International. Sebagai satu2nya Perusahaan Negara yang berwenang
menambang dan mengembangkan SDA migas di Indonesia.
PERTAMINA membuka pintu bagi semua investor migas International dan dalam negeri. Proses
investasi dipermudah, perijinan yang dibutuhkan oleh investor diurus oleh Pertamina dan
investor tidak dikenai pajak dan pungutan semasa explorasi/belum berproduksi. Pertamina
mendirikan Anak Perusahaan Pelita Air Service untuk melayani investor migas yg hendak
melakukan explorasi didaerah2 terpencil dan dilepas pantai.
Porsi Bagi Hasil "B2B" yang standard mencerminkan implementasi Pasal 33 UUD45 dimana
negara/APBN memperoleh bagian lebih besar, yaitu 65% dan Investor memperoleh 35% setelah
cost recovery. Apabila investor menemukan cadangan gas, bagi hasilnya 60% untuk APBN dan
40% untuk investor.
Cara Indonesia mengelola migas sangat disukai oleh investor. Telah mendorong investor manca
negara berbondong2 datang ke tanah air. Indonesia dinilai berhasil mengelola SDA migasnya,
sehingga menjadi negara pengekspor minyak anggota OPEC sekaligus menjadi pengexport LNG
terbesar didunia. Malaysia secara khusus mengirim Tim ke PERTAMINA untuk belajar dari
PERTAMINA. Malaysia mengeluarkan PDA (Petroleum Development Act) yang mirip dengan UU
no.8/1971 sebagai dasar lahirnya Petronas.
I. UU NO.8/1971.
Dengan UU No.8/1971, investasi explorasi melonjak. Produksi minyak melejit naik dari 200 ribu
bph hingga mencapai 1.7 juta bph dalam waktu yang relatif singkat, ditemukan banyak
cadangan2 gas besar : di Arun Aceh, di Bontang Kaltim, di Tangguh Papua, di Abadi Masela, di
Natuna Utara, dll.
PERTAMINA mengembangkan cadangan2 gas dengan membangun Kilang LNG di Arun Aceh dan
di Bontang Kaltim tanpa pakai dana APBN, melainkan dengan financing dari Bank2 International dengan interest rate yang lebih rendah. Produk LNG nya dipasarkan oleh PERTAMINA ke Jepang, Korea dan Taiwan. Menggunakan Kontrak Penjualan jangka Panjang dan formula harga jual yg saling menguntungkan dengan mengacu kepada harga minyak dunia. Pengapalan LNG ke buyers selalu on time karena ada dua Kilang LNG dibawah kendali PERTAMINA.
Jika terjadi hambatan dalam pengapalan ke buyers, maka supply bisa segera diganti dari Kilang LNG yang lain yang dioperasikan oleh PERTAMINA. Begitulah Industri LNG di tanah air dikembangkan
sehingga memperoleh kepercayaan yg tinggi dari pasar dan buyers.
Hasil nyata dari pengelolaan migas dengan UU No.8/1971 adalah : Penerimaan devisa dan
penerimaan APBN didominasi oleh sektor migas. Pertumbuhan ekonomi tinggi tercapai karena
export minyak dan LNG yg tinggi. Pada tahun 1977 GDP tumbuh tinggi 8,7%. Pada tahun 1980
produksi minyak mentah mencapai sekitar 1,6 juta bph, GDP tumbuh 9,88%. Ketika harga
minyak mengalami penurunan, pada periode 1980 - 1996 GDP sedikit mengalami penurunan,
secara rata2 GDP tumbuh menjadi 7,5%. Setelah UU Migas No.22/2001 diterapkan, produksi
migas setiap tahun turun, GDP turun dari sekitar 7% , turun menjadi sekitar 5%. Hingga
sekarang ekonomi tumbuh muter2 disekitar 5%.
II. UU MIGAS NO.22/2001.
Pengelolaan migas di tanah air berubah total setelah UU No.44/Prp/1960 dan UU No.8/1971
dicabut oleh UU Migas No.22/2001 yg merupakan kehendak IMF lewat letter of intent (LOI),
ketika Pemerintah memperoleh pinjaman dari IMF saat terjadi Krisis Moneter tahun 1998.
Kejayaan industri migas dan industri LNG nasional dirusak oleh kehadiran UU Migas No.22/2001 yang menciptakan sistem tata kelola yang ribet ruwet birokratis dan Investor dibebani pajak
semasa explorasi.
Buruknya UU Migas ini juga dicerminkan oleh fakta bahwa Mahkamah Konstitusi mencabut 17
pasal dari UU ini. BP Migas yg sudah dibubarkan, muncul kembali dengan nama SKK Migas
dengan status tetap sebagai lembaga pemerintah. Kehadiran SKK Migas ikut memperparah
penyakit "Ketidakpastian Hukum" yg diderita oleh industri migas nasional hingga saat ini.
Dampaknya, Investor migas ramai2 merencanakan hengkang dari Indonesia mencari negara lain
yang lebih ramah investor dan memberikan kepastian Hukum !!!.
Salah satunya yang paling menghebohkan adalah rencana hengkangnya Shell yg memiliki
Participating interest 35% di Proyek LNG Masela. Dimana Inpex mengajukan
POD (Plan of Development) untuk membangun Kilang LNG Terapung (FLNG) berkapasitas 2.5
juta ton pertahun (MTPA) dan disetujui Pemerintah pada tanggal 30 Desember 2008 dengan
biaya $14,8 milyar. Sekitar tahun 2013 - 2014 cadangan gas ditemukan lagi oleh Inpex. Tahun
2014 Inpex mengajukan Revisi POD, menaikkan kapasitas FLNG menjadi 7.5 MTPA. Pemerintah
minta lokasi Kilang LNG pindah ke onshore/darat agar multiplier effect ke ekonomi lokal bisa
lebih besar. Biaya pembangunan naik menjadi $19.3 milyar. Didalam POD yg baru Inpex
memasukkan pembangunan CCS (Carbon Capture Storage ) kedalam biaya produksi LNG. Target
produksi 2024 tidak tercapai. Padahal pada tahun 2028 Kontrak PSC Blok Masela yang
ditandatanganinya denga PERTAMINA tahun 1998, akan berakhir. Shell berencana hengkang
dari Masela. Kemudian Menteri ESDM dan SKK Migas mendorong PERTAMINA untuk membeli
saham Shell sekitar $1.5 milyar - $2 Milyar secara sendiri ataupun joint bersama Petronas.
Saya sarankan, sebaiknya PERTAMINA tidak diarahkan masuk ke Proyek LNG Masela dengan
membeli saham Shell. Ada potensi kerugian negara yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Sebab
ada cara yang sangat effisien dan Konstitusional dimana PERTAMINA bisa masuk ke proyek LNG
Masela tanpa mengeluarkan uang negara.
III. PRESIDEN MENGELUARKAN PERPPU MENCABUT UU MIGAS NO.22/2001.
Presiden punya hak Konstitusional untuk mengeluarkan PERPPU. Mencabut UU Migas
No.22/2001 yg sudah terbukti sangat merugikan negara dan 17 pasalnya sudah dicabut MK.
Sekaligus untuk menghidupkan kembali UU No.44/Prp/1960 dan UU No.8/1971, yang dicabut
oleh UU Migas. Argumentasinya :
1). Solusi dengan PERPPU sudah sangat mendesak karena kondisi Industri migas dan industri
LNG nasional sudah darurat. Negara harus mengimpor minyak mentah sekitar 70% dan gas LPG
80% dari kebutuhan dalam negeri.
2). DPRRI sudah dua periode gagal melahirkan UU Perubahan atas UU Migas No.22/2001.
3). Sekarang untuk ke 3 kalinya, Komisi VII DPRRI dan Menteri ESDM membahas penyusunan
RUU Perubahan atas UU Migas, dimana malah Menteri ESDM diarahkan untuk tetap diposisikan
sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan seperti di UU Migas No.22/2001. Justru kehancuran
industri migas dan industri LNG terjadi karena Menteri ESDM /Pemerintah tidak eligible
memegang Kuasa Pertambangan.
4). Dengan berlakunya kembali dua UU yang dibatalkan oleh IMF, maka otomatis Kuasa
Pertambangan akan kembali berpindah ke PERTAMINA.
5). Dengan demikian secara effisien dan Konstitusional, tanpa harus membeli P.I. nya Shell,
PERTAMINA otomatis masuk ke Proyek LNG Masela dan menjadi Leader dalam mempercepat
pembangunan Kilang LNG Masela dan memasarkan produk LNGnya dengan cara yang paling
menguntungkan negara
6). Langkah Presiden untuk mengeluarkan PERPPU juga akan mengakhiri Ketidakpastian Hukum
yang menimpa Industri Migas dan Industri LNG Nasional selama dua dekade.