Menurut Laporan IRENA, untuk melaksanakan transisi energi, ASEAN membutuhkan pembiayaan mencapai USD29,4 triliun pada 2050, dengan skenario peningkatan suhu maksimal 1,5 derajat celcius, dengan 100 persen energi terbarukan. Investasi tersebut dialokasikan untuk ketenagalistrikan melalui pengembangan solar PV, pembangkit listrik tenaga air, dan energi terbarukan lainnya.
Kemudian untuk jaringan dan fleksibilitas melalui transmisi nasional dan internasional, distribusi, dan penyimpanan. Selanjutnya, pembiayaan untuk pasokan biofuel serta kendaraan dan pengisian baterai kendaraan listrik. Selain itu juga mempertimbangkan perspektif pembiayaan yang lebih luas, meliputi biaya bahan bakar, operasional, dan pemeliharaan.
"Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan sebesar ini, kita harus meningkatkan investasi energi bersih dan aliran keuangan melalui penguatan alur proyek, peningkatan kerangka kebijakan dan peraturan, termasuk mekanisme pengurangan risiko, mempersiapkan proyek bankable yang berkualitas tinggi, serta memangkas proses persetujuan," kata Plt. Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana seperti dikutip dalam laman resmi ESDM, Minggu (2/7/2023).
Dadan menjelaskan, Indonesia berkomitmen penuh untuk mencapai hasil-hasil penting di sektor energi, mengingat pentingnya masa depan energi bersih. Menurutnya, pemerintah Indonesia secara aktif bekerja untuk mencapai tujuan energi bersih, termasuk mengembangkan konsep yang jelas untuk Energy Transitions Sustainable Finance, membangun peta jalan energi terbarukan jangka panjang, menjembatani kesenjangan antara keputusan di tingkat kebijakan dan praktik investasi yang sebenarnya, serta menciptakan jalur yang jelas untuk interkonektivitas listrik regional.
"Transisi energi sangat spesifik untuk masing-masing negara. Maka dari itu, berbagai sumber energi, teknologi, dan pembiayaan harus dipertimbangkan untuk memastikan transisi energi yang adil, inklusif, terjangkau, dan aman, sesuai dengan keadaan masing-masing negara," ujar Dadan.
Dadan menambahkan, penguatan analisis pembiayaan dan investasi energi bersih dari semua sumber pembiayaan publik dan swasta dibutuhkan untuk memenuhi akses energi dan tujuan transisi energi, serta mengidentifikasi cara-cara pembayaran potensial yang akan menurunkan biaya adopsi teknologi.
"Kita dapat mengembangkan solusi pembiayaan skala besar yang berkelanjutan dan inklusif dapat dikembangkan melalui dialog dan aksi lebih lanjut antara investor institusional, Multilateral Development Banks, institusi pembiayaan lain, industri, dan pembuat kebijakan untuk meningkatkan kolaborasi, mengidentifikasi opsi pembiayaan yang inovatif, dan meningkatkan pendekatan yang cocok untuk pembiayaan energi hijau dan transisi energi," tegasnya.
Dadan juga menyambut baik berbagai bentuk inisiatif kerja sama dan kemitraan baru, dalam mendukung upaya Pemerintah Indonesia untuk mempercepat transisi energi, termasuk antara negara maju dan negara berkembang. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan transisi energi yang adil dan terjangkau bagi seluruh masyarakat.
"Pada KTT G20 tahun lalu di Bali, Jepang telah meluncurkan inisiatif AZEC. AZEC diharapkan dapat menjadi kekuatan pendorong bagi kemitraan yang lebih luas di antara negara-negara ASEAN untuk menerapkan transisi energi yang bersih, berkelanjutan, adil, terjangkau, dan inklusif menuju karbon netral. Kita dapat mengambil tindakan melalui platform AZEC dalam mengembangkan infrastruktur energi terbarukan secara besar-besaran, penelitian dan pengembangan, mengembangkan teknologi yang terjangkau dan industri pendukung yang kuat," pungkas Dadan.