Listrik Indonesia | Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto menyatakan bahwa cadangan nikel Indonesia hanya tersisa dua puluh tahun, pernyataan tersebut diungkapkan menyusul dibangunnya pabrik smelter nikel yang sedang dibangun, dilansir CNBC.
"Yang jadi isu kan kapasitas produksi sekarang, kita lihat ada yang konstruksi itu kira-kira butuh 1 juta ton (logam nikel), jadi mungkin kapasitas kita kalau di tambang udah jadi sampai 1 juta ton itu akan membuat cadangan kita turun jadi 20 tahunan, kita targetnya sih harus bisa dijaga di 20-25 tahun," ungkap Septian dalam Program Sustainable Future, kemarin.
Menghadapi tantangan tersebut, Septian mengatakan bahwa industri daur ulang baterai adalah solusi menghadapi semakin menipisnya cadangan nikel di Indonesia, karena 99% nikel dapat diolah kembali.
"Teknologi yang ada sekarang bisa kita ambil 99% nikel yang ada di baterai bekas. Jadi saya kira ini suatu rencana yang sudah ada satu recycling battery di Morowali, saya kira kita juga berencana membangun lagi. Jadi akhirnya Indonesia tidak hanya menghasilkan nikel dari tambang tapi juga recycle," ujarnya.
Nilai Pasar Produk Nikel Mencapai Rp510 Triliun
Juru bicara Kementerian Perindustrian(Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif mengatakan bahwa Indonesia akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp510 Triliun apabila melakukan ekspor barang jadi yang berbahan dasar nikel, namun jika hanya melakukan ekspor bahan mentah maka Indonesia hanya akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp17 Triliun.
Hal tersebut menjadi alasan pemerintah terus menggalakkan hilirisasi, karena hilirisasi akan meningkatkan pendapatan negara secara drastis.
“Indikator ini sangat jelas menunjukkan bahwa benefit smelter memberi manfaat bagi ekonomi nasional, bukan untuk negara lain. Hadirnya PMA merupakan pengungkit investasi untuk pertumbuhan ekonomi nasional,” ungkap Febri.
Hilirisasi Membuka Peran Indonesia Sebagai Eksportir
Peran Indonesia sebagai pemasok utama produk turunan nikel telah mengalami penguatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah penerapan kebijakan hilirisasi dan pembatasan ekspor bijih nikel. Pada tahun 2022, nilai ekspor stainless steel, termasuk slab, HRC, dan CRC, mencapai USD10,83 miliar, mencatat peningkatan sebesar 4,9 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai USD10,32 miliar.
Menurut data dari World's Top Exports tahun 2022, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai eksportir HRC dunia dengan nilai mencapai USD4,1 miliar. Selain itu, ekspor produk turunan nikel lainnya juga mengalami pertumbuhan yang cepat.
Pada tahun 2022, tercatat bahwa nilai ekspor feronikel mencapai USD13,6 miliar, menunjukkan peningkatan sebesar 92% dibandingkan dengan tahun 2021 yang hanya mencapai USD7,08 miliar. Sementara itu, ekspor nikel matte juga mengalami lonjakan yang signifikan, meningkat hingga 300 persen dari USD0,95 miliar pada tahun 2021 menjadi USD3,82 miliar pada tahun 2022. (Ahmad Dwi).