Pengembangan Biomassa Perlu Undang-undang

Pengembangan Biomassa Perlu Undang-undang

Listrik Indonesia I Realisasi penyediaan energi meleset dari angka yang sudah ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) PP 79/2014. Untuk itu dibutuhkan perubahan KEN. Untuk itu perlu memperbarui proyeksi konsumsi energi yang menyesuaikan perkembangan.

“Selain itu perubahan KEN diperlukan untuk memasukkan target transisi energi karena sebelumnya hanya dekarbonisasi saja,” ucap Herman Darnel Ibrahim selaku Anggota Pemangku Kepentingan Dewan Energi Nasional. Dikatakan pula, untuk melengkapi pasal-pasal yang ada sehinggan KEN yang baru memiliki 93 pasal dari 33 pasal yang ada sebelumnya.

Terkait pembaruan KEN (Draft RPP KEN), grand strategy-nya adalah untuk tetap menjaga ketahanan energi dalam transisi energi. Strategi itu meliputi; menjaga keamanan pasokan dan keterjangkauan harga selama masa transisi, meningkatkan konservasi energi dan efisiensi energi, memaksimalkan energi terbarukan, meminimalkan penggunaan fosil (batu bara dan bensin), mengoptimalkan penggunaan gas sebagai transisi perantara, dan penggunaan energi baru (nuklir) untuk menyeimbangkan dan mencapai target dekarbonisasi.

“Selain itu jika dalam KEN PP 79/2014 dikatakan bahwa target dekarbonisasi adalah untuk mencapai pangsa EBT dalam bauran energi primer sebesar 23 persen tahun 2025 dan 31 persen pada 2050. Maka pada pembaruan KEN disebut bahwa puncak emisi terjadi antara tahun 2040 hingga 2045 dan net zero emission pada tahun 2060,” kata Herman.

Herman juga menilai bahwa potensi energi biomassa pada KEN yang baru (dengan target NZE 2060) merupakan energi terbesar kedua setelah energi surya. “Jadi ketika kita mencapai NZE di 2060, kontribusi yang terbesar itu persentasenya adalah energi surya. Lalu yang kedua adalah energi primer dari biomassa. Proyeksinya 13 persen di 2060 atau 98 MTOE (Million Tonner of Oil Equivalent),” ujarnya.

Dengan potensi sebesar itu, maka kata Herman yang perlu diimplementasikan adalah tentang bagaimana pengalokasian lahan untuk hutan tanaman energi (HTE) untuk memproduksi biomassa. “Pastinya diperluhan lahan yang luas sekali untuk mengembangkan biomassa, mungkin bisa mencapai 15 hingga 20 juta hektare untuk HTE,” tegasnya.

Terkait pengembangan energi biomassa, kata Herman, diperlukan lahan yang disediakan dari Pemerintah dan juga akses pada lahan itu. “Lahan itu harus dedicateduntuk memproduksi biomassa,” ucapnya. Karena luasnya lahan yang dibutuhkan, Herman menilai perlu juga untuk menginventarisasi lahan-lahan tersebut. “Jadi perlu adapenataan ruang. Mana yang tetap jadi hutan, mana yang untuk pangan, mana yang untuk lahan HTE, dan mana lahan untuk fasilitas umum dan sebagainya,” katanya.

Herman mengingatkan bahwa dengan besarnya lahan yang dibutuhkan untuk memproduksi energi biomassa, maka diperlukan payung hukum yang jelas yang bisa mengaturnya. “Seyogyanya diperlukan Undang-undang Energi Biomassa. Karena memang lahan yang dibutuhkan besar sekali. Saya sendiri belum bisa menentukan jumlahnya karena dibutuhkan studi untuk itu,” tukas Herman.

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#biomassa

Index

Berita Lainnya

Index