Listrik Indonesia | Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, Yudo Dwinanda Priaadi mengungkapkan bahwa kesepakatan harga menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab lambatnya perkembangan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dilakukan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Hal tersebut ia ungkapkan, Rabu (15/11/2023).
"Intinya kita bicara tempat yang terpencil, suplai yang harus stabil, ada permasalahan harga juga barangkali yang belum sepakat di sana. Detailnya silahkan tanya PLN kenapa dedieselisasi belum menguntungkan," ungkapnya.
Saat ini PLN tengah melaksanakan program dedieselisasi, yaitu mengkonversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) menjadi pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT). Namun, hingga saat ini, masih ada 5.200 PLTD yang beroperasi, terutama di wilayah terpencil.
Rencananya, PLTD yang masuk dalam program dedieselisasi akan digantikan oleh panel surya dengan potensi 200 megawatt (MW).
Selain itu, terdapat potensi investasi tambahan pada battery energy storage systems (BESS) sebesar 350 MWh pada tahap awal. Pada tahap dua dan tiga, potensi pengembangan mencapai 800 MWp panel surya, dengan hak pengelolaan selama 20 tahun sejak commercial operation date atau COD.
- Baca Juga Bank Jerman Biayai EBT Indonesia
Kementerian ESDM juga sedang mengkaji opsi tarif listrik gabungan atau hybrid untuk program konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) menjadi berbasis energi baru terbarukan (EBT).
“Sekarang ini lagi kita kaji kalau barangkali digabungkan hybrid lebih dari satu jenis pembangkit di satu tempat, misalnya PLTS dengan tetap menggunakan diesel untuk backup, apakah nanti ujungnya kita mau mengeluarkan satu tarif khusus seperti ini melihat perkembangannya tergantung tipologinya,” pungkasnya.