Listrik Indonesia | Setelah diskusi panjang, Kementerian ESDM dan Komisi VII DPR RI akhirnya setuju dan menyetujui revisi Rencana Umum Pengusahaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2024-2033. Salah satu perubahan kunci adalah mengalihkan fokus dari energi fosil dan batu bara ke sumber energi hijau, sambil menjaga operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) hingga nilai depresiasi aset mencapai nol.
RUPTL 2024-2033 PLN memilih jalur "coal phase down" atau mempertahankan operasional PLTU hingga berakhirnya kontrak jual beli listrik. Jika pembangkit masih dapat beroperasi setelah kontrak habis, PLTU tersebut akan terus digunakan sebagai sumber daya utama.
Mulyanto dari Komisi VII DPR RI menjelaskan bahwa keputusan ini mewajibkan pemerintah untuk membangun infrastruktur energi hijau sambil mempertahankan PLTU. Keputusan ini dianggap sebagai jalan tengah terbaik untuk mencapai net zero emission (NZE) tanpa mengorbankan aset yang sudah ada.
Mulyanto menegaskan bahwa revisi RUPTL ini tidak hanya rasional dan obyektif, tetapi juga menghindari opsi suntik mati PLTU yang dapat membebani APBN. Dia berharap pemerintah dapat mencapai target implementasi NZE sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Mulyanto juga menyoroti keterbatasan fiskal Indonesia dan ketidakadaan bantuan dana murah dari negara donor, meskipun negara-negara maju telah melepas emisi karbon secara signifikan lebih tinggi. Meski janji bantuan telah dilakukan, realisasinya masih sebatas janji, dengan negara maju lebih cenderung memberikan utang komersil.
Dia menekankan bahwa NZE bukan hanya proyek lokal, melainkan proyek global. Dengan keterbatasan fiskal, Indonesia akan kesulitan menjalankan mandat ini tanpa dukungan negara donor yang dijanjikan sebelumnya.
Perlu diingat, pilihan "coal phase down" dalam RUPTL 2024-2033 PLN berbeda dengan pernyataan sebelumnya dari Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang berencana melakukan suntik mati PLTU dengan dana APBN untuk mencapai NZE pada tahun 2060.**
