Listrik Indonesia | Peneliti dari Purnomo Yusgiantoro Center, Akhmad Hanan, menyoroti potensi besar Indonesia dalam bidang energi baru terbarukan (EBT), terutama bioenergi, yang dianggap sebagai sumber energi bersih tanpa emisi gas rumah kaca (GRK). Bioenergi dianggap sebagai solusi untuk mengurangi ketergantungan pada impor energi fosil, memperkuat ketahanan energi nasional, dan mendukung pencapaian target bauran energi baru terbarukan (EBT).
Meskipun Indonesia memiliki potensi besar dalam bioenergi, Hanan mencatat adanya beberapa tantangan dalam pengembangannya. Salah satu tantangan utama adalah biaya produksi yang relatif tinggi, berkisar antara 0,15 hingga 0,70 dolar AS per kilowatt hour (kWh), dibandingkan dengan listrik dari batu bara yang berkisar antara 0,04 hingga 0,10 dolar AS per kWh.
"Kemudian, pengembangan bioenergi juga membutuhkan ketersediaan biomassa yang cukup," ungkapnya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui potensi besar dan beragam energi baru terbarukan di Indonesia sebagai penopang ketahanan energi nasional. Saat ini, pemanfaatan EBT di Indonesia mencapai 12.669 megawatt (MW) dari total potensi sebesar 3.687 gigawatt (GW), yang melibatkan sumber daya seperti energi surya, hidro, bioenergi, bayu, panas bumi, dan laut.
Namun, perhatian khusus diberikan pada bioenergi, yang memiliki potensi mencapai 57 GW, namun hanya dimanfaatkan sebesar 3.118 MW. Kementerian ESDM berkomitmen untuk mengoptimalkan pemanfaatan bioenergi dan mencapai target bauran energi baru terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025, sesuai dengan kebijakan energi nasional.
Pemerintah diharapkan untuk fokus pada peningkatan efisiensi biaya produksi bioenergi dan upaya yang lebih intensif dalam mengatasi tantangan ketersediaan biomassa, sehingga Indonesia dapat memanfaatkan sepenuhnya potensi bersih dan berkelanjutan dari bioenergi dalam mencapai tujuan energi terbarukan.
