Listrik Indonesia | Pemerintah Indonesia terus mengambil langkah-langkah untuk mengurangi emisi karbon dalam sektor transportasi dengan merancang penggunaan bahan bakar hidrogen sebagai opsi alternatif selain mobil listrik.
Direktur Utama PLN Indonesia Power, Edwin Nugraha Putra, menandai masa depan yang cerah bagi pengembangan mobil berbahan bakar hidrogen. Dibandingkan dengan mobil listrik, mobil hidrogen menonjol dengan jarak tempuh yang lebih jauh. Hal tersebut ia ungkapkan dalam agenda Energy Corner CNBC Indonesia, dikutip Jumat (24/11/2023).
Mobil hidrogen mampu menempuh rata-rata hingga 800 kilometer (km), dengan asumsi satu kilogram hidrogen setara dengan jarak tempuh 100 km. Edwin menjelaskan bahwa teknologi ini memungkinkan pengisian dengan tekanan 150 hingga 700 bar, dan satu mobil dapat menampung sekitar 5 hingga 8 kg hidrogen, memberikan jarak tempuh maksimal hingga 800 km atau lebih.
"Hidrogen ini ada sistem yang memakai 150 bar ada yang memakai sistem 700 bar pengisiannya seketika. Karena satu mobil itu bisa menampung kurang lebih 5 sampai 8 kg, dimana 1 kg nya itu bisa menempuh 100 km jadi bisa 800 km, bahkan beberapa mobil yang terbaru itu bisa menempuh untuk 1 kg nya itu 120 km," ungkapnya.
Keunggulan lainnya adalah proses pengisian bahan bakar hidrogen yang lebih cepat dibandingkan dengan pengisian listrik pada baterai mobil listrik, yang sering memerlukan waktu yang cukup lama bahkan dengan fasilitas ultra fast charging.
"Ultra fast charging mungkin bisa setengah jam untuk pengisian penuh ya sampai 1 jam, kalau dia di rumah itu bisa beberapa jam pengisiannya tergantung berapa besar charging yang ada dan kapasitasnya sebesar sekarang itu bisa menempuh kurang lebih 400 sampai 500 km. Itu artinya kalau kita ke Jawa sana itu perlu beberapa kali charging,"
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira yakin bahwa transisi dari bahan bakar minyak ke bahan bakar hidrogen akan berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan konversi ke kendaraan listrik. Ia menyoroti beberapa negara, termasuk Afrika Selatan, yang telah mengembangkan bahan bakar green hydrogen sebagai bagian dari strategi dekarbonisasi transportasi.
Dalam konteks ini, perkembangan hidrogen sebagai pengganti bahan bakar minyak, terutama dalam menggantikan mobil berbahan bakar minyak di berbagai negara, menjadi suatu progres yang signifikan.
Bhima menyatakan bahwa transisi ke hidrogen lebih memungkinkan dibandingkan dengan kendaraan listrik, terutama karena rantai pasok baterai kendaraan listrik masih tergantung pada material yang diperoleh dari pertambangan ekstraktif dengan tingkat emisi karbon yang tinggi.
"Progres dari hidrogen ini sangat cepat, bahkan transisi dari mobil BBM ke hidrogen diperkirakan lebih memungkinkan dibandingkan kendaraan listrik," kata Bhima, Kamis (23/11/2023).
Dengan pertimbangan ini, Bhima optimistis bahwa peralihan dari bahan bakar minyak ke hidrogen akan mengalami kemajuan yang lebih pesat, didukung oleh minat besar pabrikan otomotif, terutama dari pabrikan Jepang, terhadap potensi transisi hidrogen yang lebih menjanjikan.
"Memiliki tingkat emisi karbon yang tinggi pada saat proses smelter dan sumber listrik utama nya di Indonesia masih gunakan batu bara. Jadi perusahaan otomotif khususnya pabrikan Jepang lebih tertarik masuk ke transisi hidrogen dibanding kendaraan listrik," pungkasnya.