Listrik Indonesia | Temuan potensi gas di Indonesia rupanya tak seindah yang dibayangkan. Sejumlah masalah mencuat terkait kesiapan infrastruktur yang tak kunjung selesai.
Kepada Listrik Indonesia, Ketut Buda Artana, profesor yang tercatat sebagai Pengajar di Jurusan Teknik Sistem Perkapalan - Institut Teknologi Sepuluh Nopember, mengungkap bahwa kebutuhan gas di Tanah Air cukup besar. Bahkan jika dikaitkan dengan transisi energi, maka optimalisasi pemanfaatan energi gas jadi opsi yang paling masuk akal. Namun begitu, Ketut justru mempertanyakan, apakah domestik siap menyerap gas itu? Hal ini dipertanyakan karena Ketut merasa infrastruktur gas (gas supply chain) di Indonesia harus dipersiapkan dari hulu hingga hilir.
Dia menilai bahwa sistem penyaluran dengan sistem pipa gas, yang menjadi cara penyaluran konvensional, hanya bisa digunakan untuk situasi tertentu saja. Menurutnya, pipa gas hanya salah satu solusi penyaluran gas. “Indonesia ini negara kepulauan. Kalau kita menemukan ladang gas di laut dengan kedalaman tertentu, misalnya di daerah Sumatera, tapi demand-nya ada di Jakarta, itu kan tidak mungkin menggunakan penyaluran pipa. High cost jadinya,” jelas Ketut.
Dalam kondisi tersebut, kata Ketut, gas harus dikonversi dengan dua cara; CNG (compress natural gas) dan LNG (liquefied natural gas). Tapi ia tak yakin bahwa CNG akan efektif secara biaya. “Saya tidak begitu yakin bahwa itu akan cost effective untuk mendistribusikan gas pada jarak yang jauh dan parcel yang besar,” katanya.
Menurutnya kalau gas itu diangkut dengan kapal, displacement-nya kapal itu habis oleh berat tankinya. Sehingga dia menjadi mahal biayanya. Karena itu, Ketut berkeyakinan bahwa yang paling mungkin adalah dengan menggunakan LNG yang berbasis maritim.
Terkait distribusi, Ketut menilai bahwa yang dibutuhkan Indonesia saat ini menyagkut distribusi domestik adalah keberadaan kapal-kapal kecil dengan bobot di bawah 20.000 DWT (Dead Weight Tonnage). “Kan pembangkit kita juga kecil-kecil mulai dari 10 MW hingga 40 MW,” ujarnya.
Kesiapan Infrastruktur
Kesiapan infrastruktur menjadi kunci dasar suksesnya memanfaatkan potensi gas untuk meningkatkan ketahanan energi. Infrastruktur yang dimaksud Ketut adalah menyangkut kapal dan terminalnya.“Jadi kalau kita betul-betul commit, maka industri gas kita akan bergerak,” tegasnya. Jika ada komitmen itu kata Ketut, maka industri ship buiding akan maju, pembangkit juga bisa mendapatkan harga gas yang murah, dan masyarakat bisa membeli listrik dengan harga yang terjangkau.
Baginya, apa yang sudah diinisiasi oleh Pemerintah dengan mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 13 tahun 2020, tentang penugasan pelaksanaan penyediaan pasokan dan pembangunan infrastruktur LNG dalam penyediaan tenaga listrik, dimana Pertamina ditugaskan untuk mendistribusikan LNG ke beberapa pembangkit itu sebenarnya ide yang bagus. “Hanya saja saya juga heran. Kenapa ini tidak jalan jalan,” ungkapnya.
Industri galangan kapal di Indonesia diyakini Ketut dapat membangun kapal bahkan sampai bobot 20.000 DWT. “Nah yang tidak bisa itu tankinya. Karena itu perlu kerja sama dengan penyedia tangki yang memungkinkan,” katanya. Dia juga menambahkan sementara pengembangannya belum jalan, Indonesia bisa mencharter kapal-kapal sekelas Norgas.
“LNG itu kan infrastrukturnya terbatas, kapalnya juga terbatas. Belum tentu kapal yang akan kita dapatkan adalah kapal yang paling optimal untuk mendistribusikan gas berdasarkan pasar yang dimiliki. Tetapi di awal, kita harus berani mengambil risiko itu,” ujarnya.
Pemerintah, ucap Ketut, harus berani mengambil sikap untuk mengurai benang kusut di industri gas, terutama untuk membenahi urusan rantai pasok gas. “Kalau kita bicara LNG dari hulu-hilir itu penguasanya berbeda-beda. LNG Plant ada yang menguasai (swasta), transporter ada shipping company, terminal juga demikian. Sehingga yang terjadi adalah mereka ini saling “lirik” berapa untungnya di sebelah. “Jadi kuncinya adalah keikhlasan. Itu yang susah,” imbuhnya.
Ketut mengusulkan agar semua pihak yang berkaitan degan industri gas dari hulu-hilir dibuatkan konsorsium dan diberikan penugasan. Selain itu ia berharap bahwa pemerintah juga berinisiatif untuk mengelompokkan (klaster) sektor swasta dan BUMN yang bermain di industri gas. “Sebenarnya membagi penugasan itu berdasarkan peraturan menteri yang menugaskan Pertamina membangun 52 mini regasifikasi di wilayah timur untuk pembangkit listrik, kan tinggal kita klaster saja,” ucapnya.
Jadi Ketut berharap akan ada clustering terkait operasional. “Bagus kalau kita pakai sistem klaster. Jangan kemudian implementasinya dipecah-pecah. Kalau demikian maka parcel-nya kecil. Ujung-ujungnya harga gas akan mahal,” katanya.
Menyikapi permasalahan yang saat ini dihadapi dalam infrastruktur energi gas di Indonesia, Ketut menyuarakan akan pentingnya bahwa negeri ini butuh peta jalan infrastruktur gas nasional. ”Saya mengusulkan kita perlu membuat peta jalan energi secara keseluruhan di Indonesia,” tegasnya.