Listrik Indonesia | Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mengeluarkan desakan tegas kepada Pemerintah terkait penurunan drastis dalam pencapaian target lifting minyak nasional. Kritik tersebut muncul menyusul laporan anjloknya produksi minyak, yang dinilai semakin memperparah situasi akibat meningkatnya ketegangan di Timur-tengah, terutama setelah serangan Iran ke Israel. Hal tersebut ia ungkapkan, Jumat (19/04/2024)
"Masa karena banjir, lifting anjlok. Karena listrik padam, lifting anjlok. Juga kerap terjadi Unplanned shutdown (stop operasi tak terencana), yang menjadi biang keladi merosotnya lifting minyak. Ini serius tidak sih ingin mencapai target lifting? Mana mungkin, kita bisa mengurangi ketergantungan minyak pada impor, kalau kinerja lifting minyak kita seperti ini. Sudah lebih dari 5 tahun, target lifting minyak kita terus merosot," ungkapnya.
Mulyanto menjelaskan bahwa target lifting minyak pada tahun 2020 sebesar 755 ribu barel per hari, namun angka tersebut terus menurun selama lima tahun terakhir menjadi 635 ribu barel per hari pada tahun 2024. Bahkan, realisasi tahunan tidak mencapai seratus persen, dengan laporan lifting minyak tahun 2024 hingga 15 April hanya mencapai 576 ribu barel per hari, atau hanya 90 persen dari target.
"Kalau kondisinya seperti ini terus, kita semakin tergantung pada impor. Lalu, ketika harga minyak dunia naik, maka APBN kita sempoyongan untuk nomboki subsidi energi," katanya.
Untuk mengatasi masalah ini, Mulyanto mendesak Pemerintah untuk segera mereformasi kelembagaan SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas), agar tidak hanya menjadi "satuan kerja" di bawah Kementerian ESDM, tetapi menjadi lembaga yang kuat dan mandiri dalam menjalankan tugasnya.
SKK Migas mencatat bahwa produksi minyak Indonesia sebesar 576 ribu barel per hari hingga 15 April 2024. Saat ini, proses peningkatan produksi dilakukan melalui reaktivasi sumur-sumur tengah yang sebelumnya mengalami penghentian produksi akibat unplanned shutdown karena banjir di sebagian wilayah Sumatera.
Unplanned shutdown ini terjadi karena banjir yang melanda beberapa kontraktor kerja sama di wilayah Sumatera, serta penghentian produksi yang signifikan di beberapa lokasi seperti BP Berau, BSP, dan PHE OSES.