Listrik Indonesia | Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Agus Pramono pimpin kunjungan kerja DEN ke Pabrik Bioethanol di PT. Indo Acidatama, Solo, Jawa Tengah. Mengawali kegiatan, Agus Pramono menyampaikan tujuan kegiatan ini adalah untuk mengidentifikasi permasalahan dan isu strategis lintas sektoral terkait upaya peningkatan produksi bioethanol di dalam negeri.
Lebih lanjut, Agus Pramono menjelaskan dalam rangka menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), pemerintah berkomitmen mendorong transisi energi menuju NZE di tahun 2060 atau lebih cepat. DEN saat ini telah menyusun prinsip pelaksanaan NZE dan peta jalan transisi energi. Agus juga menjelaskan bahwa Pemerintah telah berkomitmen yang kuat untuk menurunkan emisi GRK, yaitu sebesar 29% dari Bussines as Usual (BaU) atau sebesar 41% dengan bantuan internasional di tahun 2030.
Subtitusi bahan bakar minyak (BBM) menjadi bahan bakar nabati (BBN) merupakan upaya strategis Pemerintah dalam mengurangi defisit neraca perdagangan akibat tingginya impor BBM, sekaligus meningkatkan bauran energi baru terbarukan di Indonesia. “Pada 2023, realisasi EBT pada bauran energi primer mencapai sebesar 13,1%. Diperlukan upaya sangat keras untuk mengejar pencapaian target bauran EBT sebesar 23% di tahun 2025, diantaranya melalui peningkatan substitusi BBM jenis bensin oleh bioethanol”, tegas Agus Pramono.
Berdasarkan amanat Perpres 22/2017 tentang RUEN disebutkan bahwa pada tahun 2025, biofuel diharapkan berkontribusi sebesar 15,06 jt kl dan tahun 2050 sebesar 53,3 jt kl. Produksi 15,06 jt kl ini terdiri dari 11,6 jt kl biodiesel dan 3,4 jt kl bioethanol, Bioavtur diharapkan berkontribusi sebesar 0,11 juta kl.
Wong Lukas Yoyok Nurcahya, Direktur PT. Indo Acidatama menjelaskan bahwa pangsa pasar bioethanol di dalam negeri diyakini akan semakin meningkat ke depannya seiring dengan kesadaran pemerintah dan masyarakat terkait pentingnya penggunaan BBM yang lebih ramah lingkungan. Saat ini sudah ada produk campuran ethanol dan pertamax dengan tingkat oktan 95.
Upaya pengurangan impor bensin melalui pemanfaatan bioetanol telah menjadi perhatian sangat serius oleh pemerintah, antara lain dengan diterbitkannya Perpres No. 40/2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).
"Supply Bioethanol saat ini masih dalam tahap penetapan harga, dan harga yang ada belum sesuai dengan yang diinginkan oleh perseroan. Harga bioethanol saat ini belum mencapai harga ethanol industri," ungkap Yoyok.
Selain domestik, pangsa pasar ekspor untuk bioethanol sangat prospektif. Hal ini karena kesadaran dunia internasional untuk penggunaan BBM yang lebih ramah lingkungan semakin tinggi. “Terlebih harga minyak dunia kian hari kian meningkat seiring dengan gejolak geo politik yang terjadi di dunia internasional”, tutup Yoyok.
Senada dengan itu Galuh Almas Darmawati, Perwakilan Kemenperin menjelaskan beberapa tantangan terkait bioethanol yaitu, karena adanya disparitas harga molase di luar negeri dan dalam negeri sehingga masih ada kecenderungan untuk dieskpor, selain itu harga bahan baku tetes tebu yang fluktuatif dan tidak adanya regulasi/kebijakan Pemerintah yang mengatur tata niaga bahan baku tersebut.
Sigit, Subkoordinator Pelayanan Usaha Bioenergi, KESDM mengatakan Pemerintah tentu dengan berbagai cara berupaya mengejar target yang telah ditetapkan. Kini, Kementerian ESDM berharap agar kebijakan mandatori biodiesel dapat diterapkan juga pada program campuran bioetanol pada bahan bakar minyak (BBM) jenis bensin.
“Kita harapkan yang menyalurkan gasoline wajib mencampur bioetanol tadi dalam minyak bahan bakar bensinnya dengan campuran tadi bertahap lima persen dulu, kemudian nanti 10 persen dan seterusnya. Dan ini berlaku secara nasional” pungkasnya.
Sigit juga menambahkan, bila Indonesia berhasil mengembangkan bioethanol sebagai campuran pada BBM jenis bensin, maka hal tersebut akan berdampak pada menurunnya impor produk BBM. Pasalnya konsumsi BBM jenis bensin pada 2022 saja telah mencapai 35,8 jt kl.
Diakhir kegiatan, Agus Pramono memberikan beberapa usulan/masukan terhadap program bioethanol, antara lain: Perlunya komitmen Pemerintah dan Para Pemangku Kepentingan yang kuat terhadap implementasi program untuk mengurangi impor bahan bakar gasoline dan pengurangan emisi gas rumah kaca dalam rangka transisi energi, menjamin ketersediaan bahan baku dengan melakukan pengaturan pemanfaatan molase dan kebijakan diversifikasi bahan baku. Kegiatan dilanjutkan dengan field trip ke Pabrik Bioethanol di PT. Indo Acidatama, Solo, Jawa Tengah.
Kunker tersebut dihadiri oleh Anggota DEN, Dina Nurul Fitria, selain itu turut hadir Jajaran Manajemen PT. Indo Acidatama: Direktur, Wong Lukas Yoyok Nurcahya dan Nurdjono Kusumohadi, Vice Executive Officer, Eko Mulyono dan Nur Hastuti Tri Wardhani dan Marketing Manager Regional Jabodetabek, Roy Chandra, Kepala Biro Fasilitasi Penanggulangan Krisis dan Pengawasan Energi, Setjen DEN, Sujatmiko dan Kepala Biro Umum Setjen DEN, M. Halim Sariwardana, serta perwakilan Ditjen EBTKE, KESDM, Ditjen Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil, Kemenperin dan Perwakilan Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis, Kemenko Perekonomian.
