Listrik Indonesia | Ketua Asosiasi Data Center Indonesia (IDPRO), Hendra Suryakusuma mengungkapkan bahwa banyak insentif yang diberikan kepada pelaku industri data center di Malaysia, terutama bagi perusahaan yang menggunakan teknologi ramah lingkungan. Hal ini menjadi salah satu faktor mengapa investor teknologi lebih memilih Malaysia dibandingkan Indonesia.
Hendra menjelaskan bahwa Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang saat ini sedang digodok di Komisi VII DPR RI, jika berhasil memberikan insentif tambahan terkait inisiatif hijau.
"Kalau di Indonesia, ini memang belum terjadi tapi kalau pemerintah lewat RUU EBT (Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan) yang saat ini sedang digodok di Komisi VII DPR RI berhasil memberikan tambahan insentif dari sisi green initiative, itu akan sangat mendorong tumbuhnya industri data center di Indonesia yang saat ini tumbuh 20-30 persen per tahunnya," ungkapnya, dikutip Senin (10/06/2024).
Selain itu, birokrasi di Malaysia lebih sederhana dibandingkan Indonesia. Di Malaysia, perusahaan asing dapat menggunakan high level design untuk mendapatkan izin membangun, sementara di Indonesia diperlukan detail engineering design yang memakan waktu dan biaya lebih besar.
Indonesia juga memiliki potensi besar untuk menarik investasi data center dari perusahaan berbasis di Amerika Utara dan Eropa Barat yang sangat fokus pada ESG (Environmental, Social, and Governance) dan komitmen Paris Accord.
- Baca Juga Bank Jerman Biayai EBT Indonesia
"Banyak investor di Amerika Utama dan Eropa Barat fokus terkait ESG nya jadi mereka juga fokus bagaimana energy yang di supply di data center ini didapat dari sumber yang green atau less emissions karbonnya," jelasnya.
Investor global cenderung memilih negara yang stabil secara politik, mendukung pertumbuhan industri melalui insentif pajak dan memiliki inisiatif hijau. Hal ini terlihat dari raksasa teknologi dunia yang berbondong-bondong menanamkan investasi besar di Malaysia.
Google mengumumkan komitmen investasi senilai US$ 2 miliar atau setara Rp 32,6 triliun untuk membangun pusat data dan cloud di Malaysia. Microsoft juga mengumumkan investasi sebesar US$ 2,2 miliar atau Rp 35,8 triliun untuk ekspansi infrastruktur AI di Malaysia. Sebaliknya, di Indonesia, komitmen investasi Microsoft lebih kecil, yakni US$ 1,7 miliar atau Rp 27,7 triliun untuk fasilitas dan talenta AI.
ByteDance, induk TikTok asal China juga berencana menggelontorkan dana US$ 2,13 miliar atau sekitar Rp 34,7 triliun untuk membangun pusat AI di Malaysia. Menteri Perdagangan Malaysia mengumumkan bahwa ByteDance akan mengekspansi fasilitas pusat data di Johor dengan investasi tambahan senilai 1,5 miliar ringgit atau sekitar Rp 5,2 miliar.
Menteri Investasi Malaysia, Tengku Zafrul Aziz, menyatakan investasi tambahan dari ByteDance tak diragukan akan membantu Malaysia mencapai target pertumbuhan ekonomi digital sebesar 22,6% dari PDB pada 2025 mendatang.