Bob S. Effendi, Pelaku Usaha Nuklir:

Isu Strategis Nuklir, Berapa Harga Jual Listrik PLTN yang Layak?

Isu Strategis Nuklir, Berapa Harga Jual Listrik PLTN yang Layak?
Dok. Listrik Indonesia

Listrik Indonesia | Saat ini, komunitas nuklir Indonesia dalam keadaan tegang menunggu diputuskannya revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menurut berita sudah berada di DPR untuk disetujui, serta terbitnya Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan. Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, Djoko Siswanto, pada sebuah acara di ITB (5/3/24) mengatakan “Kami optimis Kebijakan Energi Nasional Baru akan disahkan pada tahun ini”. 

Kedua regulasi tersebut akan memuat dan mengamanatkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dengan target operasi pada tahun 2032, sebuah keputusan yang telah ditunggu sejak lebih dari tiga dekade.

Tentunya akan ada banyak sekali pertanyaan dan isu yang muncul di benak menteri, bahkan Presiden, tentang nuklir. Pertanyaan-pertanyaan ini umumnya sudah dapat ditebak, antara lain mengenai keselamatan, limbah, radiasi, dan kesiapan sumber daya manusia.

Namun, yang tidak disadari adalah isu-isu tersebut sebenarnya merupakan bagian dari persyaratan yang harus dipenuhi oleh semua pemohon izin yang akan membangun reaktor nuklir, baik yang dibangun oleh lembaga pemerintah maupun swasta, baik yang masih purwarupa maupun reaktor yang sudah teruji. Semua harus memenuhi persyaratan yang sama melalui proses perizinan yang dikelola dan diawasi oleh Bapeten secara ketat, yang regulasinya sudah sangat jelas.

Bahkan IAEA, Badan Atom Dunia, dalam laporan kesiapan Indonesia membangun dan mengoperasikan PLTN, “Integrated Nuclear Infrastructure Review (INIR) Mission untuk Indonesia” tahun 2009, menyatakan, bahwa Indonesia telah siap dalam semua infrastruktur dan suprastruktur yang dibutuhkan, termasuk program kesiapan SDM. Satu-satunya hal yang belum terpenuhi adalah keputusan politik dan pembentukan panitia pembangunan PLTN yang disebut NEPIO.

Isu persyaratan tersebut sebaiknya diserahkan kepada BAPETEN, yang dapat dibantu oleh lembaga nuklir nasional maupun internasional yang disebut Technical Support Organization. Contohnya, Uni Emirat Arab berhasil membangun dan mengoperasikan 4 unit PLTN dengan kapasitas 4800 MW tanpa memiliki pengalaman atau reaktor eksperimen sebagaimana Indonesia.

Menristek/Kepala BRIN, Bambang Brodjonegoro, dalam sebuah acara di Fakultas MIPA Universitas Indonesia pada 13 November 2019, menyatakan, "Percayalah bahwa bangsa Indonesia sudah punya kemampuan untuk mengelola nuklir untuk kepentingan masyarakat."

Bila ada orang pintar yang perlu kita dengar pendapatnya tentang nuklir adalah Presiden BJ Habibie. Pada acara Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (24/5/15), beliau mengatakan, "Nuklir sudah tepat untuk listrik, dan saya rasa tidak ada masalah." Beliau kemudian meminta agar masyarakat tidak perlu khawatir karena sudah adanya Badan Pengawas Tenaga Nuklir. "Kita punya Badan Pengawas Tenaga Nuklir dan ini harus dikembangkan lagi potensinya untuk kebaikan masyarakat."

Jelas dari pernyataan Presiden Habibie bahwa isu keselamatan dan isu persyaratan lainnya tidak perlu dikhawatirkan oleh Presiden karena itu sudah menjadi tanggung jawab Badan Pengawas. Justru isu yang harus dipertanyakan oleh level Menteri dan Presiden adalah isu strategis yang bukan kewenangan BAPETEN ataupun BRIN untuk memutuskan, antara lain: Apakah Pembangunan PLTN akan dibebankan kepada APBN seluruhnya atau tetapi melalui investasi Swasta?

Pertanyaan mendasar ini belum pernah dijawab secara resmi oleh Pemerintah maupun DPR, sehingga menimbulkan kesimpangsiuran di kalangan nuklir. Hal ini menimbulkan harapan di antara banyak vendor (baca: kontraktor nuklir) dari Amerika, Rusia, dan China bahwa akan ada alokasi APBN.

Berapa sesungguhnya biaya untuk membangun PLTN yang sudah beroperasi saat ini? Sebagai contoh, PLTN Barakah yang dibangun oleh Korea Selatan menghabiskan biaya sekitar $5700 per KWe. Artinya, untuk membangun 1000 MW dibutuhkan dana sebesar $5.7 miliar atau setara dengan Rp 85 triliun. Dengan ruang gerak APBN yang sudah cukup ketat, rasanya tidak mungkin APBN dibebani biaya sebesar itu mengingat subsidi listrik yang saat ini sudah mencapai Rp 73 triliun dan diprediksi terus naik.

Maka, pilihannya adalah investasi swasta atau mekanisme melibatkan swasta seperti pola Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) yang telah banyak dilakukan. Pola investasi swasta adalah opsi yang menarik dan tidak memiliki risiko finansial bagi pemerintah, yaitu pola Independent Power Producer (IPP) dengan menjual listrik dari PLTN. Walaupun saat ini di Dunia belum ada PLTN yang berstatus IPP, mungkin karena biaya pembangunan yang cukup mahal di atas $5000 per KW, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Apalagi bila PLTN seperti Small Modular Reactor (SMR) yang digadang-gadang memiliki biaya yang lebih murah. Salah satunya adalah ThorCon Power yang mengklaim overnight cost untuk unit komersial berkisar $1000 per KW, yang artinya lebih murah dari PLTU.

Berapakah harga jual listrik PLTN yang layak?

Bagaimanapun juga, PLTN adalah sebuah pembangkit listrik. Tentunya, isu terpenting bagi pembangkit listrik adalah berapa harga jual listrik dari PLTN yang dianggap layak. Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa pertanyaan pendahuluan yang harus dijawab oleh Pemerintah.

Apakah PLTN akan diposisikan hanya sebagai penyimbang serta sekedar mengejar target emisi atau diposisikan sebagai pengganti PLTU batubara yang sudah tidak dapat dibangun lagi?

Jika PLTN hanya diposisikan sebagai penyeimbang, harga jual listrik PLTN tidak akan berpengaruh, bisa murah atau mahal. 

Namun, jika diposisikan untuk menggantikan PLTU sebagai baseloader dan pemikul beban utama serta menjaga Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Nasional di kisaran 7 sen per KWh agar tidak naik tajam dan menekan subsidi, maka harga jual listrik PLTN harus di bawah 7 sen per KWh atau setara dengan PLTU.

Berdasarkan prediksi subsidi listrik sampai tahun 2030 yang tercantum dalam RUPTL 2021-2030, jika skenario low carbon atau memperbanyak bauran energi terbarukan diterapkan, PLN memprediksi subsidi pada tahun 2030 akan mencapai Rp 186 triliun dari saat ini Rp 73 triliun. Melihat postur APBN Indonesia, skenario ini bukanlah opsi yang realistis.

 

PLN juga menawarkan skenario yang disebut optimal, yang masih mempertahankan PLTU tetapi dengan teknologi ultra super critical dengan emisi lebih rendah seperti PLTU Batang. Dengan skenario ini, subsidi pada tahun 2030 menjadi Rp 113 triliun, atau Rp 73 triliun lebih rendah. Skenario optimal bukan untuk menghasilkan emisi serendah skenario low carbon, tetapi untuk menekan biaya dan subsidi dengan memanfaatkan PLTU rendah emisi. 

Dengan kata lain, secara tersirat PLN mengatakan bahwa rencana transisi energi yang mengandalkan energi terbarukan adalah skenario berbiaya tinggi dan Pemerintah perlu tingkatkan subsidi setiap tahun supaya PLN tidak merugi, seperti tertulis dalam RUPTL “Pemerintah telah menyadari adanya potensi peningkatan BPP dan subsidi/kompensasi akibat pemanfaatan energi bersih (EBT  dan gas), sehingga akan tetap memenuhi kebutuhan/kompensasi tersebut guna menjaga keberlangsungan bisnis PLN”.

Namun, jika harga jual listrik PLTN ditargetkan di bawah 7 sen per KWh, target low carbon dapat tercapai dengan biaya skenario optimal atau yang kami sebut low carbon-low cost (LCLC). Dengan demikian, walaupun subsidi naik, tidak akan melebihi subsidi optimal sebesar Rp 113 triliun, bahkan sangat mungkin lebih rendah.

Dengan skenario LCLC (Low Carbon-Low Cost) yang hanya dapat dicapai oleh low-cost nuclear (LCN) atau PLTN murah, dampaknya tidak hanya pada penurunan emisi secara signifikan, tetapi juga menjaga agar rata-rata BPP Nasional tidak naik secara tajam. Hal ini memastikan bahwa Tarif Dasar Listrik (TDL) tidak perlu dinaikkan, yang pada akhirnya dapat menggerus daya beli masyarakat.

Tanpa harus bertanya, Presiden atau Menteri ESDM pasti akan memilih skenario LCLC. Namun, skenario tersebut bergantung pada LCN yang rata-rata memiliki target LCOE (Levelized Cost of Energy) sekitar 3 sen USD per kWh. Saat ini, belum ada yang beroperasi, tetapi beberapa pengembang LCN seperti Thorcon Power dan Copenhagen Atomic sudah menawarkan proposal ke Indonesia. Keduanya mengusung teknologi Molten Salt Reactor yang menurut buku SMR IAEA, ditargetkan dapat beroperasi secara komersial sebelum tahun 2032, sesuai dengan target Rancangan Kebijakan Energi Nasional.

Menteri ESDM IG Jonan pernah mengatakan bahwa PLTN harus murah pada rapat kerja dengan Komisi VII DPR (15/7/2019), Rosatom menawarkan 12 sen per kWh. Kalau mau long-term dengan rata-rata BPP listrik 7-8 sen per kWh, ini menarik.”

Konsekuensi dari PLTN harus murah – yang mana saat ini tidak ada PLTN yang sudah beroperasi dapat murah dan harus tanpa APBN – yang mana hampir semua vendor PLTN minta APBN. Maka, Pemerintah harus melirik kepada pengembang PLTN skala small modular reactor Generasi IV yang menjanjikan sebagai Low-Cost Nuclear, yang hampir semuanya masih dalam pengembangan atau belum ada yang beroperasi. Jika tanpa APBN, pengembang LCN harus memakai model bisnis dengan menjual listrik kepada PLN atau industri untuk membiayai pembangunan purwarupanya melalui kontrak jual-beli listrik atau power purchase agreement sebagai Independent Power Producer.

Persoalan timbul karena PLN tidak dapat memberikan PPA kepada teknologi dengan tingkat kematangan rendah atau masih dalam purwarupa. Itulah sebabnya Pemerintah harus memberikan terobosan kebijakan sehingga memungkinkan PLN memberikan PPA kepada pengembang purwarupa PLTN LCN.

Tanpa terobosan kebijakan tersebut, Pemerintah harus mengeluarkan APBN untuk membiayai PLTN LCN atau mendapatkan PLTN konvensional yang mahal, yang pada akhirnya tidak berdampak pada penurunan subsidi. Inilah mengapa kedua pertanyaan tersebut adalah pertanyaan strategis yang hanya dapat dijawab oleh level Menteri atau Presiden.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, pada rapat bersama stakeholder nuklir (7/11/17), mengatakan, “Kalau harus pilih antara proven tapi mahal dan tidak proven tapi murah, saya pilih yang murah, selama tidak memakai APBN dan hanya merubah regulasi.” Perkataan Wamen ESDM tersebut sebenarnya sudah menjawab isu utama PLTN. Pada saat itu, swasta tidak diperbolehkan membangun PLTN purwarupa (unproven) dalam PP No 2 tahun 2014. Namun, hal ini berubah setelah lahirnya PP No 5 tahun 2021 tentang Perizinan Usaha Berisiko.

PP tersebut telah membuka peluang usaha PLTN melalui KBLI No 43294, yang memungkinkan swasta, BUMN, dan koperasi membangun reaktor purwarupa untuk kemudian mengkomersialisasikannya dengan menjual listrik ke PLN. Hal ini telah dikonfirmasi oleh BAPETEN sebagai pengampu KBLI tersebut.

Membangun PLTN LCN (Low-Cost Nuclear) melalui purwarupa tidak hanya memberikan listrik murah tetapi juga mendorong terciptanya penguasaan inovasi teknologi nuklir generasi maju melalui investasi swasta. Hal ini sesuai dengan amanat UU No 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, serta terjadinya alih teknologi dan terbangunnya industri nuklir nasional sebagaimana diamanatkan dalam UU No 15 tahun 2014 tentang Rencana Induk Industri Nasional (RIPIN).

Akhir kata, jika regulasinya telah memperbolehkan, tidak ada alasan mengapa Pemerintah tidak dapat memberikan terobosan kebijakan terkait PPA kepada LCN. Ini akan menjadi solusi low carbon-low cost untuk mencapai net-zero emission tanpa membebani APBN. Terobosan kebijakan tersebut dapat berupa Peraturan Presiden yang mengatur pengembangan PLTN purwarupa sampai komersial.

Penutup

Kesimpulannya, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan energi nuklir sebagai sumber listrik yang andal dan ramah lingkungan. Dengan adanya peraturan yang mendukung dan investasi swasta yang terlibat, pengembangan PLTN dapat menjadi solusi bagi kebutuhan energi nasional tanpa membebani anggaran negara. Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah strategis untuk memberikan terobosan kebijakan yang memungkinkan pembangunan reaktor purwarupa hingga komersialisasi. Dengan demikian, cita-cita Indonesia untuk menguasai teknologi nuklir dan mencapai net-zero emission dapat terwujud, sejalan dengan visi Presiden Soekarno untuk menjadikan Indonesia sebagai negara besar melalui penguasaan teknologi atom dan antariksa.

 

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#Opini

Index

Berita Lainnya

Index