Energi Baru vs Energi Terbarukan dalam Revisi KEN

Energi Baru vs Energi Terbarukan dalam Revisi KEN
Herman Darnel Ibrahim

Listrik Indonesia | Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru saja mengajukan poin-poin penting dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) kepada Komisi VII DPR RI, pada Senin (8/7) malam. Tentu saja, poin-poin dalam RPP KEN tersebut menuai respons dari berbagai pihak di sektor energi.** 

RPP KEN diajukan untuk menggantikan PP No. 79 Tahun 2014 dan berfungsi sebagai pedoman pengelolaan energi dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan. Hal ini dikarenakan PP No. 79 Tahun 2014 dinilai gagal mencapai target pertumbuhan ekonomi serta sasaran penyediaan dan pemanfaatan energi. 

Dari beberapa poin yang dibacakan oleh Menteri ESDM, Arifin Tasrif, ada satu poin yang menarik perhatian Herman Darnel Ibrahim, Anggota Dewan Energi Nasional (2009 – 2014 dan 2019 – 2024), yaitu Grand Strategi Ketahanan Energi dalam Transisi Energi. Poin ini mencakup butir ketiga yang menekankan maksimalkan penggunaan energi baru dan terbarukan, serta butir kelima yang mengusulkan penggunaan energi baru (nuklir) untuk mencapai target dekarbonisasi. 

HDI, yang akrab disapa, menjelaskan terlebih dahulu makna energi terbarukan (ET) dan energi baru (EB), yang meskipun keduanya memiliki emisi rendah, namun berbeda dalam fitur dan karakteristiknya. Keduanya perlu dipisah dan kalau digabung akan menimbulkan kerancuan dalam pemanfaatannya dan urgensi dalam RPP KEN. 

Dalam pernyataannya, ia menekankan bahwa yang perlu menjadi fokus utama RPP KEN ialah pada energi terbarukan (ET). “Yang dimaksimalkan hanya ET, EB atau nuklir tidak perlu dimaksimalkan. EB/PLTN dibangun untuk memenuhi sasaran dekarbonisasi, dan dilakukan jika dengan pembangunan ET yang dimaksimalkan belum mencukupi pencapaian target. 

“Jadi perlu pemisahan kebijakan dan strategi untuk ET dan EB karena karakteristik, pemanfaatan, dan urgensinya berbeda. EB nuklir untuk mendukung pencapaian dekarbonisasi, sebagaimana isi butir lima, itu sudah rasional, bukan untuk dimaksimalkan,” ujarnya, Selasa (9/7). 

Menurutnya, kebijakan penggunaan nuklir selain mengutamakan faktor keselamatan, PLTN tidak dibangun di lokasi yang rawan bencana geologi, tidak di daerah yang padat penduduk, dan juga tidak di daerah yang menjadi lumbung pangan. 

Merespon pertanyaan MLI tentang pencantuman tahun operasi PLTN pertama tahun 2032, HDI memandang itu baru sebagai keinginan atau visi. “PLTN kan belum masuk dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Penetapan rencana pembangunan suatu pembangkit dilakukan dengan studi, dan pembangunannya dilakukan setelah masuk dalam RUPTL," jelasnya. 

Berdasar data dari World Nuclear Association, pembangunan Pembangkit PLTN di negara-negara yang telah membangunnya memakan waktu rata-rata 117 bulan atau sekitar 10 tahun, dengan biaya pembangunan yang cukup mahal, sekitar 7-9 miliar dolar per 1000 MW, dan umumnya terjadi delay atau penundaan dalam proses pembangunannya. 

HDI juga menanggapi skenario Transisi Energi yang menyebut target mencapai puncak emisi pada tahun 2035 dan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060, dengan bauran energi terbarukan dan energi bersih yang mencapai 70%-72% pada tahun 2060. 

“Sebenarnya, target tersebut lebih berupa visi atau cita-cita, belum merupakan suatu rencana konkret. Banyak ahli energi dunia memandang target net zero emission pada tahun 2060 tersebut out of reach atau sulit dicapai, namun bukan berarti tidak mungkin dicapai. Untuk mencapai target itu, diperlukan inovasi atau bahkan revolusi teknologi. Tanpa adanya kemajuan teknologi yang signifikan, mencapai target tersebut akan menjadi sangat sulit,” pungkasnya. 

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#energi

Index

Berita Lainnya

Index