Listrik Indonesia | Pengembangan hidrogen sebagai bahan bakar co-firing pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) terus menunjukkan kemajuan yang signifikan. Energi ini dianggap memiliki potensi besar untuk menggantikan bahan bakar fosil dalam menghasilkan listrik.
Hidrogen, khususnya yang rendah emisi karbon seperti hidrogen hijau yang dihasilkan dari elektrolisis air dengan energi terbarukan, menjadi sorotan utama. Banyak negara kini berlomba-lomba untuk menjadi pusat teknologi, produsen, dan konsumen hidrogen, memanfaatkan potensi besar yang dimiliki energi ini.
Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada (UGM) sedang mengeksplorasi peran hidrogen dalam co-firing PLTU. Penelitian PSE berfokus pada transisi energi yang lebih terjangkau dengan mempertimbangkan basis batubara, serta opsi pensiun yang menantang dari segi kapasitas dan biaya. Dengan pertumbuhan permintaan energi yang terus meningkat, mereka mencari solusi yang lebih bersih dan berkelanjutan untuk mendukung kepentingan rakyat serta sektor industri Indonesia.
Beberapa anggota Dewan Energi Nasional (DEN) seperti Musri, Agus Pudji, dan Dina Nurul Fitria memberikan tanggapan positif terhadap potensi hidrogen. Musri menilai bahwa pengelolaan yang tepat dapat menjadikan Indonesia sebagai pemimpin dalam sektor energi. Dari segi pemanfaatannya, Agus Pudji mengungkapkan pentingnya penyesuaian harga keekonomian di industri.
Agus Pudji juga menekankan perlunya menciptakan pasar yang adil, dengan kontribusi pemerintah sebesar 70% dan industri 30%, yang diharapkan akan meningkat seiring dengan terbentuknya ekosistem. Sementara itu, Dina Nurul Fitria mengusulkan agar regulasi terkait hidrogen disusun dengan hati-hati agar tidak membebani konsumen secara berlebihan. Ia menekankan pentingnya mempertimbangkan model investasi seperti Build Operate and Transfer (BOT) dan Build Own Operate (BOO), dengan memperhatikan unsur nasional pada BOO.