Listrik Indonesia | Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said mengenang Faisal Basri sebagai seorang ekonom yang berperan besar dalam upaya pemberantasan mafia minyak dan gas (migas) di Indonesia. Hal tersebut ia ungkapkan di rumah duka di Jakarta pada Kamis (5/9/2024).
"Pada waktu saya jadi menteri kebetulan beliau bersedia menjadi Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dikenal dengan tim pemberantasan mafia migas, dan karena kredibilitas bang Faisal maka pada waktu itu banyak sekali orang-orang ahli yang sign up acung tangan bergabung dalam tim ini," ungkapnya.
Faisal Batubara, S.E., M.A. atau lebih dikenal sebagai Faisal Basri, meninggal dunia pada 5 September 2024 di usia 64 tahun.
Dihimpun dari sumber yang tersedia, karier Faisal Basri tak bisa dilepaskan dari keterlibatannya dalam upaya reformasi di sektor migas, terutama ketika ia terlibat dalam pembubaran Pertamina Energy Trading Limited (Petral), entitas yang diduga menjadi sarang mafia migas.
Sejarah Petral sendiri dimulai sejak tahun 1969, ketika Pertamina bekerja sama dengan kelompok kepentingan dari Amerika Serikat untuk memasarkan minyak mentah ke pasar internasional.
Perta Group memulai aktivitas perdagangan minyaknya pada tahun 1972. Grup ini terdiri dari dua entitas: Perta Oil Marketing Corporation Limited, perusahaan yang berbasis di Bahama dengan kantor di Hong Kong dan Perta Oil Marketing Corporation, perusahaan berbasis di California yang beroperasi di Amerika Serikat.
Pada tahun 1978, dilakukan reorganisasi besar-besaran. Perusahaan yang sebelumnya berbasis di Bahama digantikan oleh Perta Oil Marketing Limited yang berkantor pusat di Hong Kong. Pada September 1998, Pertamina mengakuisisi seluruh saham Perta Group. Selanjutnya, pada Maret 2001, perusahaan ini berganti nama menjadi Pertamina Energy Trading Limited (PETRAL) setelah mendapat persetujuan dari para pemegang saham. PETRAL kemudian berfungsi sebagai trading and marketing arm perdagangan dan pemasaran Pertamina di pasar internasional.
Pada 2014, Presiden Joko Widodo yang baru dilantik kala itu, berkomitmen untuk membereskan tata kelola sektor migas Indonesia.
Presiden Jokowi kemudian menunjuk Sudirman Said sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dengan instruksi khusus untuk 'membersihkan' Petral. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, Sudirman Said membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas, di mana Faisal Basri didapuk sebagai ketua tim bersama 12 pakar lainnya.
Selama enam bulan penuh, tim yang dikenal dengan sebutan Tim Anti Mafia Migas ini bekerja intensif, menyelidiki berbagai praktik impor bahan bakar minyak (BBM) di tubuh Petral. Faisal dan tim menemukan sejumlah indikasi adanya ketidakwajaran dalam proses penawaran dan tender yang dilakukan oleh Petral. Mereka juga menemukan adanya keterlibatan pihak ketiga yang bertindak sebagai perantara, kebocoran informasi tender, serta kehadiran kekuatan tersembunyi yang mempengaruhi proses tersebut.
Selama penyelidikan, Faisal mengungkap betapa intensnya pekerjaan yang harus dilakukan tim ini.
"Banyak sekali meeting di tim ini. Anda bisa bayangkan kami bertemu orang sampai tengah malam. Pola hidup saya itu rusak, saya enggak punya pola yang teratur. Lebih sering saya sholat subuh karena saya enggak tidur sampai pagi. Atau kalau saya tidur jam dua, misalnya, sholat subuh kemudian tidur lagi," kenangnya dalam sebuah wawancara dengan CNN Indonesia.
Hasil dari investigasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas menghasilkan tiga rekomendasi utama kepada pemerintah.
Rekomendasi ini mencakup langkah-langkah untuk memperbaiki proses impor BBM, pengelolaan Petral, serta 12 poin penting yang harus dijalankan untuk memperbaiki sektor hulu dan hilir migas di Indonesia.
Jerih payah Faisal dan timnya tidak sia-sia. Pada pertengahan Mei 2015, sesuai instruksi Presiden Jokowi, Sudirman Said dan Direktur Utama Pertamina kala itu, Dwi Soetjipto, resmi membekukan operasional Petral.