Listrik Indonesia | Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi menyampaikan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) antara Kementerian ESDM dan Komisi VII DPR RI hampir selesai, namun dua pasal krusial masih belum mencapai kesepakatan. Hal tersebut ia ungkapkan pada Temu Media di Jakarta, dikutip Selasa (10/09/2024).
"Prosesnya sudah, tim sinkronisasi dan tim perumus sudah membahas 63 pasal, yang sudah disepakati ada 61 pasal, tinggal 2 pasal, yakni 1 pasal terkait energi baru dan 1 pasal terkait energi terbarukan. Isi 2 pasal yang terakhir ini terkait Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) atau sewa jaringan," ungkapnya.
Dalam dua pasal terakhir itu, pemerintah mengusulkan agar pemenuhan kebutuhan listrik yang bersumber dari energi baru dan terbarukan wajib mengikuti Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan dapat dilaksanakan melalui PBJT dengan mekanisme sewa jaringan.
Eniya menjelaskan bahwa dalam mekanisme ini, usaha jaringan transmisi tenaga listrik harus membuka akses pemanfaatan jaringan transmisi untuk kepentingan umum. Aturan terkait PBJT melalui mekanisme sewa jaringan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Eniya menambahkan bahwa pemerintah telah menyampaikan dan menjelaskan kedua pasal ini pada Rapat Panitia Kerja RUU EBET bersama Komisi VII DPR RI, namun pembahasan lebih lanjut masih ditunda.
"Pemerintah sebagai tim perumus telah menyampaikan kepada Komisi VII DPR RI, dan Komisi VII juga sudah paham dengan pasal tersebut, rapatnya masih ditunda," ujarnya.
Melalui skema PBJT, sektor swasta dapat menjadi penyedia listrik yang diharapkan dapat menurunkan harga listrik dari energi baru dan terbarukan, sehingga subsidi pemerintah juga berkurang.
"Sehingga listrik yang sampai ke masyarakat adalah listrik murah, di sini subsidi Pemerintah turun, itu tujuan kita untuk memasukkan ke RUU EBET seperti ini. Kita memprioritaskan EBET yang murah ke depan," tambahnya.
Selain itu, Eniya juga menyebutkan bahwa RUU EBET ini memberikan insentif bagi badan usaha yang berkontribusi dalam menurunkan emisi melalui nilai ekonomi karbon.
"Salah satu keuntungan RUU EBET ini kalau telah disahkan semua badan usaha yang saat ini sudah pasang solar panel, sudah berkontribusi di biomassa, dan mengusahakan penurunan emisi mendapatkan insentif dari nilai ekonomi karbon. Ini kalau disahkan, nilai ekonomi karbon berjalan. Kalau UU ini tidak disahkan, tidak ada insentif. Insentif inilah yang paling utama di RUU EBET ini," jelasnya.
Pengesahan RUU EBET juga mendesak untuk mempercepat penyediaan listrik di daerah-daerah yang masih kekurangan akses listrik, terutama di Indonesia Timur, di mana banyak wilayah masih bergantung pada listrik dari diesel yang biayanya lebih tinggi.
"Tetapi begitu kita bicara baterai, harganya bisa di bawah USD30 sen, sementara diesel bisa mencapai USD50 sen. Berarti EBET lebih murah di situasi seperti ini. Yang paling penting listrik di Indonesia Timur ini. Itu yang menggugah rasa bahwa UU EBET ini harus segera diselesaikan," pungkasnya.
