Listrik Indonesia | Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia menyampaikan keluhannya terkait anggaran yang diterima oleh Kementerian ESDM, terutama untuk sektor minyak dan gas bumi (migas).
Menurutnya, alokasi anggaran yang diberikan pada tahun 2025 jauh di bawah ekspektasi dan sangat tidak memadai untuk mencapai target lifting migas yang dicanangkan pemerintah. Hal tersebut ia ungkapkan dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, Jakarta, dikutip pada Kamis (12/09/2024)
Kementerian ESDM mendapatkan alokasi sebesar Rp 3,91 triliun. Angka ini jauh dari pengajuan awal Kementerian ESDM sebesar lebih dari Rp 10 triliun.
"Kami sampaikan karena bahasan anggaran kami ajukan Rp 10 triliun lebih, di-breakdown Rp 3,91 triliun untuk belanja operasional dan rutinitas di Kementerian ESDM Rp 4,2 triliun untuk bangun pipa gas dan program-program kerakyatan dan kami berpendapat pertama, kami akan menerima Rp 3,91 triliun," ungkapnya.
Bahlil juga menyoroti minimnya anggaran yang dialokasikan untuk Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) sebesar Rp 566,68 miliar. Ia menilai anggaran ini terlalu kecil jika dibandingkan dengan target pendapatan negara dari sektor hulu migas yang mencapai US$ 15-16 miliar.
"Ditjen Migas Rp 566,68 miliar. Bayangkan pimpinan, kita mau naikkan lifting minyak tapi dirjennya hanya dikasih anggaran Rp 500-an miliar. Padahal target negara mau dijadikan (pendapatan) dari hulu migas sekitar US$ 15-16 miliar. Ini teori dari mana?," katanya.
Selain itu, Bahlil juga mengungkapkan bahwa keterbatasan anggaran tersebut akan mempengaruhi pembangunan infrastruktur gas, termasuk proyek penting seperti pipa gas Cisem tahap 2 dan proyek gas di Sumatra.
"Pertama, kita mengalami persoalan gas ya. Pembangunan (pipa gas) Cisem (tahap) 2, kemudain untuk gas di Sumatera nggak bisa dilakukan kalau nggak dibiayai oleh negara, terkecuali kerja sama dengan swasta murni. Untuk usaha ini kan pemimpin terdahulu sudah melakukan tender dan selesai. Kalau nggak dianggarkan, artinya memang kita khususnya Kemeterian Keuangan sengaja membuat program ini gagal," jelasnya.
Bahlil pun meminta agar DPR RI dan pemerintah tidak lagi mempertanyakan perkembangan proyek-proyek tersebut jika anggaran tidak memadai.
"Kalau menerima dengan baik maka kami bekerja sesuai dengan kewenangan dan keuangan yang diberikan pemerintah dan DPR. Jadi kalau boleh saran kami kita buat catatan. Tapi andai nggak ada catatan itu kalau boleh rapat-rapat berikutnya jangan tanya kami soal pipa. Karena apa? Parlemen boleh menanyakan apabila diberikan ruang biaya untuk kami kerjakan. Jadi kalau nggak ada kerjaan apa yang mau ditanyakan," ujarnya.
Sebagai solusi, Bahlil menyarankan agar dana untuk program pembangunan pipa gas diambil dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Ia menyoroti bahwa PNBP yang disumbangkan oleh Kementerian ESDM mencapai Rp 303 triliun, namun tidak ada anggaran yang mengalir balik untuk sektor tersebut.
"Kalau boleh kami sarankan kesimpulan rapat hari ini untuk program pipa, kita masukkan bagian dalam keputusan dialokasikan dari sumber anggaran PNBP saja. Masa anggaran kami kasih PNBP kita hampir Rp 300 triliun lebih, Rp 303 triliun. Gak ada yang netes ini," pungkasnya.