Kepemimpinan Presiden terpilih Prabowo Subianto mengusung rencana untuk mengubah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi sebuah badan super holding.
Ketua Umum Relawan Pengusaha Muda Nasional (Repnas), Anggawira mengungkapkan bahwa badan tersebut akan menjadi super holding, kemudian masing-masing BUMN dihubungkan ke kementerian teknisnya. Hal tersebut ia ungkapkan dalam Diskusi Polemik Trijaya di Jakarta Pusat, dikutip dari CNN Indonesia, Jum’at (04/10/2024).
"Iya (akan ada Badan BUMN). Sebenarnya roadmap-nya untuk bikin super holding dan itu nanti (setiap BUMN) akan di-grouping dengan kementerian teknis yang ada, supaya nyambung," ungkapnya.
Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan super holding BUMN?
Gagasan ini bukanlah hal baru, konsep super holding sudah ada sejak era Menteri BUMN di bawah pemerintahan Soeharto, Tanri Abeng. Wacana tersebut kembali mencuat menjelang periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam debat terbuka kelima Pilpres 2019, Jokowi mengungkapkan impian untuk mendirikan super holding BUMN. Ia percaya bahwa keberadaan super holding akan memudahkan BUMN Indonesia dalam mengakses pendanaan dari lembaga keuangan internasional.
"Saya kira ke depan kita akan membangun holding-holding BUMN, baik konstruksi dan karya, kemudian migas, yang berkaitan dengan pertanian dan perkebunan, serta perdagangan. Nantinya akan ada super holding," katanya.
Konsep super holding Indonesia diharapkan mirip dengan model yang diterapkan oleh Temasek Holdings di Singapura dan Khazanah Nasional Berhad di Malaysia.
Temasek sendiri berfungsi sebagai perusahaan induk BUMN di Singapura, beroperasi di berbagai sektor seperti jasa keuangan, telekomunikasi, media, teknologi, transportasi, real estat, pertanian, serta energi dan sumber daya alam.
Di sisi lain, Khazanah mengelola sejumlah perusahaan besar, termasuk Axiata Group, CIMB Group, dan Tenaga Nasional.