Listrik Indonesia | Pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia terkait ekspor listrik hijau, baru-baru ini, mengundang respons dari sejumlah kalangan. Pernyataan tersebut berkaitan dengan rencana Kementerian ESDM yang akan mengevaluasi skema ekspor listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT).
Akibat pernyataan soal evaluasi ekspor listrik itu, sejumlah kalangan mulai gamang. Apakah rencana ekspor listrik bersih dari Indonesia ke Singapura yang nilainya mencapai ratusan triliun rupiah itu akan kandas atau justru sebaliknya.
Bahlil mengingatkan bahwa rencana ekspor listrik hijau itu harus dilakukan dengan kehati-hatian dan mendahulukan kebutuhan nasional. Bahkan katanya, ekspor listrik hijau justru berpotensi membuat nilai daya saing dan keunggulan komparatif EBT diberikan ke negara lain. Di sisi lain, Indonesia belum bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sebelumnya, diketahui bahwa Energy Market Authority (EMA) Singapura sudah memberikan persetujuan bersyarat kepada tujuh perusahaan untuk mengimpor listrik rendah karbon. Ketujuh perusahaan itu antara lain; Pacific Metcoal Solar Energy, Adaro Solar International, EDP Renewables APAC, Venda RE, Kepel Energy, Total Energies & RGE, dan Shell Vena Energy Concortium.
Direktur Eksekutif Intitute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa yang dihubungi listrikindonesia.com mengungkapkan bahwa ekspor listrik ke Singapura itu sudah menjadi kesepakatan dua negara (Indonesia dan Singapura) yang dibuat sejak tahun 2023. Sejauh ini EMA, kata Fabby, sudah memberikan conditional approval untuk tiga perusahaan dengan total 2 gigawatt (GW).
“?Kesepakatan ini menguntungkan Indonesia karena ada devisa dari penjualan listrik. Proyek ini mendorong manufaktur solar module dan battery di Indonesia, sebagaimana syarat dari pemerintah ketika mengizinkan penjualan listrik ini,” terang Fabby.
Fabby sepakat dengan Menteri ESDM bahwa kebutuhan nasional harus didahulukan. Menurut Fabby, yang prioritas dikembangkan oleh PLN dalam 10 tahun mendatang adalah PLTP dan PLTA, pembangkit energi terbarukan baseload.
“Listrik dari PLTP dan PLTA kan tidak diekspor ke luar. Selain itu, potensi teknis PLTS di Indonesia itu 3.300 GW sampai dengan 7.700 GW. Memasok 2 atau 3 GW ke Singapura, tidak banyak mengurangi potensi teknis PLTS yang bisa dimanfaatkan untuk Indonesia,” tegasnya.
Sementara itu Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai bahwa ekspor listrik bersih tetap harus dilakukan. Dia menilai bahwa jika ekspor tetap dilakukan itu maka akan lebih banyak manfaatnya untuk Indonesia.
“Ada banyak benefit dari ekspor listrik ke Singapura itu. Misalnya ada investasi yag masuk ke Indonesia. Lalu Indonesia juga akan mendapatkan pengalaman dalam hal menghasilkan listrik dari PLTS. Pengalaman itu penting untuk pengembangan EBT,” ujar Fahmy kepada ListrikIndonesia.com.
Fahmy juga menambahkan bahwa kemungkinan Indonesia akan mendapatkan transfer teknologi dari kerja sama itu.
“Kita punya resource yang besar, tapi kita masih tertinggal dalam teknologi. Dan yang jelas ekspor listrik bersih ke Singapura akan menghasilkan devisa dan itu menguntungkan Indonesia. Saya kira ini harus dilakukan,” ungkap Fahmy.
