Penuhi Dulu Kebutuhan Nasional, Ekspor Listrik Bersih Kemudian

Penuhi Dulu Kebutuhan Nasional,  Ekspor Listrik Bersih Kemudian
Program PLTS Nasional dibutuhkan untuk mengejar target energi terbarukan.

Listrik Indonesia | Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia beberapa waktu lalu menyingung kerja sama ekspor listrik dari Indonesia ke Singapura. Dia menilai rencana ekspor listrik bersih berbasis energi terbarukan harus memperhatikan prinsip kehati-hatian dan mendahului kebutuhan energi nasional.

Bahlil sebenarnya tidak mempermasalahkan jika ekpsor listrik itu dilakukan, asalkan dengan pertimbangan yang matang. Karenanya, pihak Kementerian ESDM berencana akan mengkaji ulang rencana ekspor listrik bersih tersebut.

Sebelumnya diketahui bahwa ekspor listrik ke Singapura itu sudah menjadi kesepakatan dua negara (Indonesia dan Singapura) yang dibuat sejak tahun 2023. Bahkan kabarnya Energy Market Authority (EMA) sudah memberikan conditional approval untuk tiga perusahaan dengan total 2 gigawatt (GW).

Ketua Dewan Pakar Majalah Listrik Indonesia Herman Darnel Ibrahim mengungkapkan bahwa ia sepakat dengan apa yang diutarakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. “Ekspor listrik hijau harus dilakukan dengan hati-hati dan harus mengedepankan kebutuhan energi nasional terlebih dahulu,” kata Herman saat dihubungi ListrikIndonesia.com.  

Menurut Herman, ekspor listrik itu memiliki dua sisi. Dalam jangka pendek, pengusaha PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) akan mendapatkan keuntungan ketika ekspor listrik dilakukan dari PLTS yang dibangun.

Namun jika hal itu berlangsung terus menerus, dimungkinkan wilayah Indonesia Kepri (Kepulauan Riau) akan kehilangan lahan murah untuk mengembangkan energi surya. Seperti diketahui bahwa membangun PLTS membutuhkan lahan yang luas, baik di darat maupun di perairan.

“Ketika kita perlu transisi energi dan perlu mengembangkan energi terbarukan, tapi lahan-lahan murah sudah tidak tersedia. Itu akibat lahan-lahan sudah banyak digunakan untuk PLTS untuk kebutuhan ekspor listrik itu, seperti di Teluk Nongsa,” ucap Herman.

Selain soal ketersediaan lahan, Herman mengimbau agar ekspor listrik dilakukan melalui jaringan. Dengan kata lain, yang melakukan ekspor listrik tersebut bukan oleh perusahaan melainkan oleh negara.

“Jadi kalau dia ekspor langsung lewat perusahaan, maka yang bisa terjadi suatu saat di Kepri terjadi kekurangan listrik. Dan fatalnya kita tidak bisa mengambil listrik dari suplai listrik bersih tadi, karena sifatnya sudah kontrak Singapura,” terangnya.

Menurut Herman, berbeda halnya jika ekspor tersebut dilakukan oleh PLN Batam. Karena itu perjanjiannya adalah ekspor akan dilakukan jika suplai listrik lokal (Kepri) dalam kondisi aman. “Tapi kalau dia mengekspor terus menerus itu akan ada dampak negatif bahwa suatu saat Kepri bisa kekurangan listrik,” ucapnya. Oleh karenanya, Herman juga menyarankan dibuat program PLTS di Batam-Bintan.

Herman merasa sejalan dengan pemikiran Menteri Bahli soal prinsip hati-hati dan mengutamakan ketahanan energi nasional dalam kasus ekspor listrik bersih ke Singapura. Terkait dengan kontrak ekspor listrik yang sudah disepakati antara perusahaan Indonesia dan Singapura, Herman memberikan konklusi bahwa kontrak tersebut harus disesuaikan dengan pertimbangan Indonesia tidak terkena dampaknya nanti.

“Jadi syaratnya kita ekspor energi itu saat energi kita berlebih. Dan melakukan ekspornya itu adalah harus melalui perusahaan yang memiliki jaringan listrik. Bisa PLN Batam atau perusahaan apa saja yang dimiliki pemerintah yang namanya perusahaan utilitas,” jelasnya.

Herman menegaskan bahwa kehati-hatian itu menyangkut dua hal. Pertama Indonesia juga melakukan transisi energi dan opsi energi bersih di Kepri hanya tenaga surya. Di sana, kata Herman, tidak ada tenaga air, geothermal, maupun bayu.

Kalau sekarang listrik PLTS kita ekspor dalam skala besar, nanti lahan yang tersedia untuk PLTS akan semakin langka dan mahal yang akan berakibat pada biaya penyediaan listrik,” ucapnya.

Selain kata Herman, dalam prinsip kehati-hatian itu,  Indonesia harus mengutamakan keamanan pasokan energi listrik. “Jangan sampai ada kejadian kita mengekspor karena terikat kontrak, ketika listrik kita di Kepri sedang defisit. Kalau ini terjadi tentu akan menimbulkan masalah sosial,” ujarnya.

Program PLTS Nasional

Direktur Eksekutif Intitute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa juga setuju dengan apa yang dikatakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia terkait prioritas kebutuhan energi nasional.

“Benar bahwa yang didahulukan adalah kebutuhan nasional. Dan yang prioritas dikembangkan oleh PLN dalam 10 tahun mendatang adalah PLTP dan PLTA, pembangkit energi terbarukan baseload,” ujar Fabby yang dihubungi listrikindonesia.com.

Menurut Fabby, listrik dari PLTP dan PLTA tidak diekspor ke luar. Selain itu, potensi teknis PLTS di Indonesia 3.300 GW sampai dengan 7.700 GW. “Jadi memasok 2 GW atau 3 GW ke Singapura tidak banyak mengurangi potensi teknis PLTS yang bisa dimanfaatkan untuk Indonesia.

Fabby juga menyarankan kepada Menteri Bahlil untuk membuat program PLTS Nasional guna mengejar target energi terbarukan. Tetapkan syarat bahwa hanya bisa menggunakan modul surya buatan dalam negeri sesuai ketentuan TKDN (tingkat komponen dalam negeri).

“Ini akan merangsang pertumbuhan manufaktur sel dan modul surya serta industri rantai pasoknya,” kata Fabby.

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#Energi Terbarukan

Index

Berita Lainnya

Index