Current Date: Minggu, 08 Desember 2024

Gerindra Akuisisi Pertamina

Gerindra Akuisisi Pertamina
Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhi

Listrik Indonesia | Pengangkatan Simon Aloysius Mantiri dan Mochamad Iriawan alias Iwan Bule sebagai Direktur Utama (Dirut) dan Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina (Persero) mengundang perhatian luas. Banyak pihak mempertanyakan penempatan dua kader Partai Gerindra ini di pucuk pimpinan perusahaan energi pelat merah tersebut. Kedua tokoh ini memang tak asing di lingkup Partai Gerindra, di mana Simon Aloysius menjabat Wakil Sekretaris dan Iwan Bule sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina. 

Fahmy Radhi, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, dalam unggahan media sosialnya, menyentil isu yang ia sebut sebagai "Gerindra akuisisi Pertamina". Menurutnya, penempatan tokoh-tokoh partai dalam manajemen BUMN, terutama sebagai Dirut dan Komut, menyimpan risiko besar bagi independensi dan transparansi perusahaan. Ia mengingatkan bahwa BUMN, terutama sebesar Pertamina, harus dikelola secara profesional tanpa intervensi politik yang berpotensi menciptakan konflik kepentingan. 

Potensi Risiko Konflik Kepentingan 

Bagi Pertamina, kehadiran Simon dan Iwan di jajaran teratas dinilai membuka potensi konflik kepentingan. Dalam struktur korporasi, Komisaris Utama seharusnya menjadi pengawas utama untuk memastikan Dirut bertindak sesuai prinsip tata kelola yang baik. Namun, penempatan dua tokoh yang berasal dari partai yang sama dikhawatirkan justru dapat mengurangi efektivitas fungsi pengawasan. 

Lebih lanjut, Fahmy menyatakan bahwa adanya tokoh-tokoh partai di manajemen Pertamina bisa membuka akses bagi peluang pelanggaran hukum dan korupsi. Padahal, ia menekankan, Presiden Prabowo Subianto, yang juga merupakan ketua umum Partai Gerindra, telah berulang kali menyuarakan komitmen kerasnya untuk memberantas korupsi, baik di pemerintahan maupun BUMN. "Pembukaan akses pelanggaran korupsi di Pertamina itu sesungguhnya bertentangan terhadap komitmen kuat Presiden Prabowo Subianto, yang amat keras dalam pemberantasan korupsi di Pemerintahan, maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN)," ujar Fahmy kepada Listrik Indonesia saat dihubungi. Senin, (4/11). 

Manuver Politis atau Sekadar Asal Bapak Senang? 

Fahmy tak menampik kemungkinan bahwa penunjukan ini bukan merupakan inisiatif langsung dari Presiden Prabowo. Ia menduga, pengangkatan ini lebih mungkin merupakan manuver dari menteri terkait, yang berharap dapat “menyenangkan” presiden dengan menunjuk kader partai sebagai pemimpin di Pertamina. Fenomena seperti ini, dikenal dengan istilah "Asal Bapak Senang" (ABS), kerap dikritik sebagai langkah yang hanya mementingkan kepentingan jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi tata kelola perusahaan. 

Dalam praktik korporasi, pengambilalihan atau "akuisisi" sering kali melibatkan langkah penguasaan atas saham mayoritas dan penempatan orang-orang terpercaya di posisi strategis. Namun, dalam kasus Pertamina, yang seluruh sahamnya dimiliki negara melalui Kementerian BUMN, fenomena ini dianggap kurang pantas. BUMN, yang sepenuhnya dimiliki rakyat, seharusnya dikelola secara profesional tanpa campur tangan politik yang dapat mengganggu integritas perusahaan. 

Desakan untuk Mempertahankan Integritas Tata Kelola BUMN 

Fahmy Radhi mengusulkan agar Presiden Prabowo mempertimbangkan kembali penunjukan Simon dan Iwan sebagai Dirut dan Komut Pertamina. Bila penunjukan ini tetap dipertahankan, ia menyarankan agar kedua tokoh tersebut melepaskan afiliasi politik mereka sebagai pengurus partai untuk menjaga komitmen tata kelola yang baik dan menghindari konflik kepentingan. 

Keputusan ini menjadi ujian bagi kepemimpinan Presiden Prabowo. Apakah komitmen antikorupsi yang telah digaungkannya akan terefleksi dalam penunjukan pemimpin di perusahaan besar seperti Pertamina, atau justru tersandera oleh tarik ulur kepentingan politik?

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#Pertamina

Index

Berita Lainnya

Index