Listrik Indonesia | Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, secara terbuka mengakui bahwa pengembangan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) bauksit di Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan kemajuan hilirisasi nikel. Pernyataan ini mencerminkan tantangan serius yang dihadapi sektor pertambangan, khususnya dalam mendorong nilai tambah bauksit di dalam negeri.
Bahlil menyoroti lambannya pembangunan smelter bauksit sebagai dampak dari berbagai kendala, dengan isu pembiayaan menjadi hambatan utama. Sebagai respons, ia mengusulkan pembentukan konsorsium sebagai solusi untuk mempercepat pengembangan infrastruktur smelter bagi perusahaan yang belum memiliki kapasitas membangun fasilitas mandiri.
“Kita harus akui bahwa kecepatan hilirisasi nikel jauh lebih maju dibanding bauksit. Salah satu persoalannya ada pada pembiayaan. Untuk itu, kami sedang mengatur strategi dan mengundang pelaku usaha untuk mempercepat proses ini,” ujar Bahlil dalam konferensi pers di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (29/11/2024).
Pernyataan ini menyoroti ketidakseimbangan antara sektor hilirisasi mineral yang seharusnya menjadi prioritas nasional. Di satu sisi, hilirisasi nikel menunjukkan kemajuan pesat, didorong oleh tingginya permintaan global terhadap baterai kendaraan listrik. Di sisi lain, bauksit, yang merupakan bahan baku utama aluminium, masih terjebak dalam dinamika internal yang memperlambat pembangunan smelter.
Strategi konsorsium yang diusulkan Bahlil dapat menjadi terobosan penting. Dengan kolaborasi antara berbagai entitas, beban pembiayaan dan risiko dapat dibagi, sehingga membuka peluang lebih besar untuk mempercepat pembangunan. Namun, pertanyaan yang muncul adalah seberapa efektif langkah ini dalam mengatasi tantangan struktural yang sudah lama menghambat pengembangan sektor ini.
- Baca Juga Tarif Impor Mengintai Komoditas Nikel