Listrik Indonesia | Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo menegaskan bahwa pengurangan emisi gas rumah kaca adalah masalah global yang membutuhkan kerjasama internasional. Dalam konteks ini, Indonesia berkomitmen untuk menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbasis batu bara. Namun, upaya tersebut tidak hanya memerlukan biaya besar, tetapi juga dukungan dari komunitas internasional.
"Suntik mati PLTU memerlukan biaya yang tidak sedikit. Kami tidak bisa memikul beban ini sendiri, karena dampaknya adalah untuk kepentingan global, bukan hanya Indonesia," ungkap Darmawan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta, Selasa (3/12/2024).
Dalam proses penghentian operasional PLTU, PLN harus membangun pembangkit baru berbasis energi baru terbarukan (EBT). Hal ini tentu saja memerlukan investasi besar dan mempengaruhi keuangan perusahaan. Darmawan menjelaskan, keputusan untuk melakukan phase-out terhadap batu bara harus diambil dengan hati-hati, mengingat investasi yang diperlukan untuk mengganti pembangkit lama dengan sumber energi terbarukan.
"Kalau ada biaya tambahan akibat penghentian PLTU, itu bukan beban pemerintah atau PLN. Kami berharap ada dukungan finansial internasional yang dapat meringankan beban tersebut dan memastikan transisi ini tidak merugikan," tambah Darmawan.
Estimasi biaya untuk menyuntik mati satu PLTU bisa mencapai antara Rp 30 triliun hingga Rp 50 triliun. Selain itu, PLN harus memastikan keandalan sistem kelistrikan, dengan menggantikan pembangkit batu bara dengan EBT yang lebih ramah lingkungan namun tetap futuristik dan handal.
