Listrik Indonesia | Centre for Policy Development (CPD), lembaga think tank independen di bidang kebijakan publik, mengusulkan reformasi subsidi energi di Indonesia. CPD merekomendasikan agar subsidi berbasis komoditas diubah menjadi subsidi langsung yang ditargetkan bagi rumah tangga miskin dan rentan. Langkah ini diyakini mampu menciptakan ruang fiskal besar, mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8%, dan mempercepat transisi ke energi baru terbarukan (EBT).
Menurut Ruddy Gobel, Senior Policy Adviser Indo-Pacific CPD, reformasi ini dapat menghemat hingga Rp50 triliun per tahun dari subsidi listrik dan LPG. "Dari subsidi LPG bisa dihemat Rp33,7 triliun, sementara subsidi listrik Rp23,8 triliun," jelasnya dalam diskusi di Jakarta, Selasa (4/12/2024).
Subsidi yang Memberatkan Fiskal
Subsidi energi saat ini dianggap menjadi beban berat bagi anggaran negara. Pada 2022, total subsidi energi dan kompensasi mencapai Rp502 triliun atau 22,3% dari total belanja pemerintah. Dengan reformasi ini, subsidi akan diarahkan hanya kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.
Data menunjukkan, selisih harga LPG bersubsidi dan non-subsidi mencapai Rp5.000 per kilogram. Rata-rata rumah tangga mengkonsumsi sekitar 9 kg LPG per bulan. CPD mengusulkan subsidi tetap sebesar Rp45.000 per bulan bagi 29,2 juta rumah tangga yang terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Skema ini diproyeksikan hanya membutuhkan Rp15,8 triliun per tahun, jauh lebih hemat dibandingkan pengeluaran subsidi LPG pada 2020 yang mencapai Rp49,5 triliun.
Untuk listrik, subsidi tetap sebesar Rp95.000 per bulan akan diberikan kepada 27,2 juta rumah tangga. Dengan skema ini, pengeluaran subsidi listrik dapat ditekan menjadi Rp31 triliun per tahun, menghemat Rp23,8 triliun dari total pengeluaran subsidi listrik sebelumnya.
Reformasi subsidi ini juga menekankan pentingnya distribusi dana secara elektronik. Subsidi akan disalurkan langsung melalui sistem perbankan atau layanan keuangan lokal. Hal ini memungkinkan subsidi tersalurkan secara tepat sasaran, khususnya di daerah terpencil. Sistem ini dapat terintegrasi dengan program bantuan sosial lain, seperti bantuan pangan dan pendidikan.
Dukungan untuk Transisi Energi
Reformasi subsidi ini dinilai mendukung target transisi energi nasional. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2033, Indonesia berencana menambah kapasitas pembangkit sebesar 68 GW, dengan 46 GW berasal dari EBT. Untuk itu, dibutuhkan pendanaan hingga Rp400 triliun.
Ruddy menyebut, penghematan dari reformasi subsidi dapat digunakan untuk mendanai transisi energi. "Dalam lima tahun, kita bisa mengumpulkan Rp250 triliun dari penghematan subsidi, mendekati kebutuhan pendanaan transisi energi," ungkapnya.
Langkah ini diharapkan memperkuat komitmen Indonesia menuju masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. (KDR)