Listrik Indonesia | Pengangkatan kembali Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) oleh Presiden Prabowo Subianto memunculkan polemik terkait arah kebijakan energi nasional. Menurut Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada, beberapa kebijakan yang diterapkan Bahlil justru bertentangan dengan komitmen yang telah disampaikan oleh Presiden Prabowo saat pelantikan.
Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menegaskan tekad untuk mencapai swasembada energi melalui pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dengan memanfaatkan potensi sumber daya melimpah di Indonesia dalam kurun waktu 4-5 tahun. Namun, langkah Bahlil dinilai lebih berorientasi pada kebijakan pemerintahan sebelumnya di bawah Presiden Joko Widodo, yang mengutamakan energi fosil dibandingkan EBT.
Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah arahan Bahlil untuk meningkatkan produksi minyak dan gas bumi di sektor hulu. Kebijakan ini dianggap tidak sejalan dengan realitas, mengingat banyak investor besar telah meninggalkan sektor hulu Indonesia karena dinilai tidak lagi menguntungkan. Di sisi lain, komitmen Presiden Prabowo untuk menghentikan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara dalam 10 tahun ke depan juga terancam oleh kebijakan Bahlil yang justru mendorong peningkatan produksi batu bara.
“Kebijakan ini selaras dengan langkah Presiden Jokowi sebelumnya, termasuk pemberian konsesi tambang batu bara kepada organisasi keagamaan untuk mendorong produksi,” ungkap Fahmy.
Tak hanya itu, wacana pelarangan penggunaan BBM subsidi bagi pengemudi ojek online (ojol) juga menuai kritik. Alasan bahwa pengemudi ojol memiliki kendaraan untuk usaha dinilai mengabaikan kenyataan bahwa mereka termasuk golongan masyarakat rentan miskin. Kebijakan ini dianggap bertentangan dengan komitmen Presiden Prabowo yang dikenal pro rakyat kecil (wong cilik).
Fahmy menilai, kebijakan-kebijakan ini berpotensi mencederai kepercayaan publik terhadap komitmen Presiden Prabowo. Ia menegaskan perlunya evaluasi terhadap langkah-langkah yang diambil oleh Bahlil.
“Jika kebijakan tersebut terbukti bertentangan dengan visi Presiden Prabowo, maka mengganti Menteri ESDM dengan figur yang lebih sejalan adalah langkah yang perlu dipertimbangkan,” tutup Fahmy.
Polemik ini menyoroti pentingnya sinkronisasi antara visi presiden dengan kebijakan menteri yang bertugas, terutama dalam isu strategis seperti energi yang berdampak luas pada masyarakat dan masa depan Indonesia.