Lemahnya Komitmen Politik, Transisi Energi RI Tersendat!

Lemahnya Komitmen Politik, Transisi Energi RI Tersendat!
Gambar Ilustrasi

Listrik Indonesia | Tahun 2025 menandai fase krusial bagi Indonesia dalam perjalanan menuju transisi energi. Institute for Essential Services Reform (IESR) baru-baru ini meluncurkan laporan tahunan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2025, yang kembali menyoroti tantangan besar di balik ambisi pemerintah untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) sebelum 2050. 

Meskipun komitmen terhadap energi terbarukan telah lama digaungkan, fakta di lapangan menunjukkan transisi energi di Indonesia masih terbelenggu oleh kebijakan yang tidak konsisten dan dominasi energi fosil. Tahun 2024 bahkan mencatat tingkat pasokan listrik dari PLTU tertinggi dalam lima tahun terakhir, sementara kontribusi energi terbarukan stagnan di angka 13,1 persen—jauh dari target 23 persen pada 2025. 

Kebijakan yang Berubah Arah 

Salah satu ironi terbesar terletak pada perubahan target bauran energi dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang baru. Alih-alih mempercepat adopsi energi terbarukan, target tersebut justru diturunkan menjadi 17-19 persen pada 2025. Hal ini bertentangan dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang menjadikan transisi energi sebagai pilar utama. 

"Indonesia berada di persimpangan jalan," ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. Menurutnya, keputusan pemerintah untuk tetap mendukung kepentingan industri fosil dapat mengancam posisi Indonesia dalam pasar energi terbarukan global. Fabby menegaskan bahwa reformasi kebijakan yang menyeluruh diperlukan untuk memastikan transisi energi berjalan sesuai rencana. 

Tantangan Teknologi dan Tata Kelola 

Dalam laporan tersebut, Fabby juga menyoroti fokus pemerintah pada teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS) yang dinilai belum matang dan mahal. Sebaliknya, ia mengajak pemerintah untuk lebih memanfaatkan teknologi energi surya dan angin yang sudah terbukti efektif dan ekonomis. 

Raditya Wiranegara, Manajer Riset IESR, mengungkapkan bahwa ketergantungan pada energi fosil tidak hanya terjadi di sektor listrik, tetapi juga di sektor industri dan rumah tangga. "Sebanyak 87 persen rumah tangga masih bergantung pada LPG bersubsidi, yang totalnya mencapai Rp83 triliun hingga akhir 2024," ujar Raditya. Ia menambahkan bahwa langkah pertama yang perlu diambil pemerintah adalah mengurangi subsidi bahan bakar fosil secara bertahap dan mengalihkannya ke energi terbarukan. 

Peluang dan Harapan di Tengah Tantangan 

Meski transisi energi Indonesia terlihat lamban, ada secercah harapan. Pada KTT G20 di Brasil, Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen untuk menghentikan operasional PLTU batu bara pada 2040 dan mencapai 100 persen energi terbarukan dalam satu dekade. Namun, menurut Fabby, komitmen ini hanya bisa terwujud dengan reformasi besar-besaran di bidang kebijakan, perencanaan, dan regulasi. 

Selain itu, peningkatan daya saing teknologi energi rendah karbon juga membuka peluang investasi baru. "Komitmen internasional untuk menggandakan efisiensi energi dan meningkatkan investasi energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada 2030 harus menjadi momentum bagi Indonesia untuk mengambil langkah lebih progresif," tambah Fabby. 

Langkah ke Depan 

IESR menyarankan pemerintah untuk segera merealisasikan pensiun dini PLTU yang tidak efisien, seperti Cirebon-1, yang menurut analisis mereka memiliki biaya pengurangan karbon lebih rendah dibandingkan teknologi CCS. Selain itu, pemerintah juga didorong untuk meningkatkan pengawasan terhadap PLTU captive dan mendorong industri beralih ke energi terbarukan. 

Dengan strategi yang terarah dan komitmen yang kuat, Indonesia memiliki peluang untuk mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon, sekaligus memastikan ketahanan energi yang mendukung pertumbuhan ekonomi di masa depan. Namun, waktu terus berjalan, dan tahun 2025 akan menjadi ujian nyata bagi keberhasilan transisi energi nasional.

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#IESR

Index

Berita Lainnya

Index