Listrik Indonesia | Dalam rangka mempercepat transisi energi dan mewujudkan ketahanan energi nasional, Pertamina Energy Institute menyelenggarakan The 3rd Pertamina Energy Dialog 2024. Acara yang bertempat di Universitas Pertamina ini mengangkat tema “Optimalisasi Potensi Panas Bumi di Indonesia: Tantangan, Strategi, dan Inovasi untuk Mewujudkan Energi Berkelanjutan”. Forum tersebut mempertemukan berbagai pemangku kepentingan, termasuk Kementerian ESDM, akademisi, serta pelaku industri energi.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia. Sahat Simangunsong dari Direktorat Panas Bumi Kementerian ESDM menegaskan bahwa sumber daya ini merupakan modal besar untuk mendukung ketahanan energi sekaligus memenuhi target bauran energi terbarukan. "Pemerintah telah melakukan berbagai terobosan, seperti penerbitan Perpres Nomor 112 Tahun 2022 untuk memberikan kepastian harga listrik panas bumi dan kemudahan proses perizinan melalui sistem OSS," ungkapnya. Selain itu, aplikasi GENESIS kini menjadi platform utama untuk menyediakan data komprehensif tentang potensi panas bumi di Indonesia.
Henricus Herwin, SVP Strategy & Investment PT Pertamina (Persero), menyoroti pentingnya energi panas bumi sebagai bagian dari strategi bisnis rendah karbon Pertamina. “Pengembangan kapasitas panas bumi adalah langkah kunci dalam mewujudkan swasembada energi, yang juga mendukung ketahanan energi nasional,” jelasnya.
PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), sebagai ujung tombak pemanfaatan panas bumi di Indonesia, menargetkan peningkatan kapasitas terpasang hingga 1 GW dalam dua hingga tiga tahun mendatang dan 1,5 GW pada 2035. "Namun, daya tarik investasi masih menjadi tantangan besar," kata Julfi Hadi, Direktur Utama PGE. Untuk itu, perusahaan mengadopsi strategi kolaboratif, termasuk menekan biaya produksi dan diversifikasi pendapatan.
Peluang dan Tantangan Investasi
Dr. Adhitya Nugraha dari Pertamina Energy Institute memaparkan bahwa Indonesia masuk dalam klaster Demand Surge dengan permintaan listrik yang tinggi, tetapi masih menghadapi tantangan dalam menarik investasi. “Harga listrik panas bumi yang kurang kompetitif, skema pendanaan yang terbatas, serta regulasi yang perlu diperkuat menjadi isu utama yang harus diatasi,” tuturnya.
Prof. Ari Kuncoro dari Universitas Indonesia menambahkan, “Dukungan fiskal yang terukur dari pemerintah, serta insentif seperti green bond, dapat menjadi solusi untuk menarik investor yang peduli pada keberlanjutan.”
Sebagai pemimpin dalam transisi energi, Pertamina menegaskan komitmennya terhadap pencapaian Net Zero Emission 2060. Langkah ini mencakup integrasi prinsip Environmental, Social, & Governance (ESG) ke seluruh lini bisnis. Upaya ini tidak hanya bertujuan memenuhi kebutuhan energi nasional, tetapi juga mendorong pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
Dengan pengelolaan yang optimal, panas bumi berpotensi menjadi pilar strategis untuk memastikan kemandirian energi dan keberlanjutan Indonesia. Dialog ini menjadi tonggak penting dalam merumuskan langkah kolektif guna mengakselerasi kontribusi energi panas bumi di Tanah Air.
