Pengamat: Ekonomi RI 2025 Di Tengah Gejolak Geopolitik dan Beban Utang

Pengamat: Ekonomi RI 2025 Di Tengah Gejolak Geopolitik dan Beban Utang
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Celios

Listrik Indonesia | Tahun 2024 menjadi masa sulit bagi perekonomian Indonesia. Hampir seluruh target ekonomi, mulai dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, hingga nilai tukar rupiah, meleset dari proyeksi. Bagaimana dengan tahun 2025? Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios), memberikan pandangannya terkait tantangan yang akan dihadapi pada tahun depan.

Salah satu risiko besar yang perlu diantisipasi pada 2025 adalah ketegangan geopolitik, terutama jika Donald Trump kembali terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat. Kebijakan perdagangan yang proteksionis dapat memicu perang dagang yang lebih luas, tidak hanya dengan Tiongkok tetapi juga negara-negara lain yang dianggap merugikan neraca perdagangan AS. Bhima menjelaskan bahwa jika perang dagang ini meluas, dampaknya akan mengganggu rantai pasok global dan memicu inflasi di berbagai negara. Indonesia pun tidak luput dari ancaman ini, terutama melalui pelemahan nilai tukar rupiah.

Prospek harga komoditas di tahun 2025 diperkirakan tidak akan setinggi tahun-tahun sebelumnya. Komoditas seperti sawit, batubara, dan nikel olahan menunjukkan tren harga yang lebih rendah. Kondisi ini menandakan bahwa Indonesia tidak dapat lagi bergantung pada sektor komoditas sebagai penggerak utama ekonomi.

Pemerintah Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengelola utang yang diperkirakan mencapai Rp10.000 triliun pada 2025. Bhima menyoroti bahwa sebagian besar utang saat ini bersifat konsumtif, bukan produktif, sehingga membebani fiskal negara. Utang pemerintah yang jatuh tempo dan bunga utang yang lebih mahal menjadi ancaman serius. Pemerintah harus mencari sumber pendanaan yang baru, seperti dari dana simpanan perbankan atau masyarakat. Namun, ini bisa berdampak negatif pada likuiditas domestik.

Tahun 2024 telah menunjukkan pelemahan daya beli masyarakat. Bhima mencatat bahwa konsumsi rumah tangga sebagai penyumbang terbesar PDB mengalami stagnasi. Bahkan, data menunjukkan adanya penurunan jumlah kelas menengah, dengan banyak yang tergolong ke dalam "kelas menengah rentan." Pemerintah harus menjaga daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, agar tidak terganggu oleh pungutan seperti kenaikan PPN atau iuran BPJS Kesehatan.

“Stimulus ekonomi juga perlu difokuskan untuk menghidupkan kembali industri pengolahan domestik,ujarnya dalam siaran wawancaranya. Selasa, (7/1/2025)

Dengan keterbatasan anggaran, pemerintah harus mengambil langkah rasional dalam menentukan prioritas. Program-program seperti makanan bergizi gratis dan pembangunan lumbung pangan harus dibandingkan dengan kebutuhan lain, seperti infrastruktur dan belanja rutin. Bhima menekankan pentingnya keberanian Menteri Keuangan untuk berkata "tidak" pada pengeluaran yang tidak mendesak.

Bhima juga menyarankan beberapa langkah untuk meningkatkan penerimaan negara. Meningkatkan kepatuhan pajak melalui reformasi sistem perpajakan menjadi langkah penting. “Pemerintah juga diharapkan menghindari pengampunan pajak (tax amnesty) jilid ketiga, karena tidak efektif dalam jangka panjang. Pajak alternatif seperti pajak karbon atau pajak kekayaan yang tidak membebani daya beli masyarakat dapat menjadi solusi,”tegasnya.

Tahun 2025 akan menjadi tahun yang penuh tantangan bagi perekonomian Indonesia. Pemerintah harus mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan belanja negara dan upaya meningkatkan daya beli masyarakat. Langkah bijak dalam pengelolaan fiskal dan kebijakan ekonomi yang tepat akan menjadi kunci dalam menghadapi situasi ini.

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#Industri

Index

Berita Lainnya

Index