Listrik Indonesia | Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus berupaya mempercepat transisi energi guna mencapai target Net Zero Emission 2060. Salah satu langkah terbaru adalah penerbitan Peraturan Menteri ESDM No. 5 Tahun 2025, yang bertujuan memberikan kepastian hukum bagi pengembang proyek energi terbarukan serta mempercepat implementasi perjanjian jual beli listrik.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menjelaskan bahwa regulasi ini hadir sebagai solusi terhadap berbagai tantangan yang dihadapi sektor energi terbarukan di Indonesia.
"Sebelum regulasi ini diterbitkan, pengembang proyek dan PLN sering menghadapi ketidakjelasan dalam mekanisme kontrak dan negosiasi yang panjang. Hal ini menyebabkan keterlambatan realisasi proyek dan peningkatan biaya transaksi. Oleh karena itu, regulasi ini kami susun dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, termasuk PLN, BUMN, akademisi, asosiasi perbankan, serta mitra kerja sama lainnya," ujar Eniya dalam sambutan di acara Sosialisasi Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2025, di Kantor KESDM. Selasa, (11/3/2025).
Fokus pada Penghapusan Ketidakpastian Regulasi
Dalam implementasinya, regulasi ini mengatur sejumlah aspek penting, termasuk mekanisme pembayaran, skema force majeure, serta pembagian risiko dalam proyek energi terbarukan. Salah satu tantangan utama yang coba diatasi adalah tidak adanya acuan baku dalam penyusunan kontrak jual beli listrik sebelumnya, yang sering kali menyebabkan perbedaan interpretasi dan perpanjangan negosiasi.
Selain itu, regulasi ini juga merinci pengaturan terkait pemanfaatan ekses energi dari pembangkit listrik panas bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Dengan regulasi baru, kelebihan daya tersebut kini bisa dijual dan dimanfaatkan oleh PLN, sehingga meningkatkan efisiensi sistem kelistrikan nasional.
"Kita melihat ada potensi besar dari ekses energi pembangkit, terutama di Sumatra dan beberapa wilayah lain. Dengan regulasi ini, mekanisme pemanfaatannya menjadi lebih jelas, termasuk batasan skala dan skema jual-belinya," tambah Eniya.
Percepatan Pengadaan Pembangkit EBT
Pemerintah juga menyoroti lambatnya proses pengadaan proyek pembangkit energi baru terbarukan (EBT), yang dalam beberapa kasus bisa memakan waktu lebih dari satu tahun. Regulasi baru ini diharapkan dapat mempercepat proses tersebut dengan menetapkan batas waktu yang lebih jelas, seperti 180 hari untuk pemilihan langsung dan 90 hari untuk penunjukan langsung.
"Pak Menteri sangat menekankan percepatan implementasi proyek EBT. Kami terus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap RUPTL yang ada, memastikan bahwa target penambahan kapasitas EBT tetap berjalan sesuai rencana," jelasnya.
Lebih lanjut, regulasi ini juga mengatur mekanisme kepemilikan hak atas atribut lingkungan dan nilai ekonomi karbon, yang akan memberikan kepastian lebih bagi pengembang dalam perhitungan investasi mereka.
Sinergi Pemerintah dan Swasta
Penyusunan regulasi ini telah melewati berbagai proses konsultasi publik dan diskusi dengan pemangku kepentingan terkait. Eniya menekankan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ini memerlukan kerja sama erat antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, serta masyarakat.
"Kami berharap sinergi ini dapat mempercepat pelaksanaan proyek energi terbarukan di Indonesia. Dengan ekosistem yang lebih inklusif dan kuat, kita bisa mencapai target transisi energi secara lebih efektif," tutupnya.
