Listrik Indonesia | Pemerintah Indonesia berencana menaikkan tarif royalti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari penjualan hasil tambang mineral dan batu bara (minerba). Kebijakan ini terutama menyasar komoditas strategis seperti bijih nikel, yang diproyeksikan mengalami kenaikan royalti dari 10% menjadi 14-19%, tergantung harga pasar. Langkah ini diambil untuk meningkatkan penerimaan negara sekaligus menyesuaikan tarif dengan fluktuasi harga komoditas global.
Latar Belakang Kenaikan Royalti
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, menjelaskan bahwa penyesuaian tarif royalti bertujuan menyeimbangkan kepentingan pelaku usaha dengan optimalisasi pendapatan negara. “Penyesuaian ini mempertimbangkan dinamika harga komoditas, kelangsungan usaha, serta kepastian hukum bagi industri,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (12/3/2025).
Revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2022 tentang PNBP Sektor Minerba sedang dalam tahap finalisasi. Yuliot menegaskan, perubahan tarif akan diumumkan secara resmi oleh Menteri ESDM setelah revisi PP disahkan.
Detail Penyesuaian Tarif untuk Nikel dan Komoditas Utama
Berdasarkan draf revisi PP No. 26/2022, berikut rincian kenaikan royalti yang diusulkan:
• Bijih Nikel: Naik dari 10% menjadi 14-19%, tergantung harga komoditas.
• Nikel Matte: Royalti sebelumnya 2% diusulkan menjadi 4,5-6,5%.
• Ferro Nikel: Tarif meningkat dari 2% menjadi 5-7%.
• Nickel Pig Iron (NPI): Dari 5% menyesuaikan ke kisaran 5-7% berdasarkan harga pasar.
Selain nikel, komoditas lain seperti tembaga, timah, batu bara, emas, perak, dan platina juga akan mengalami penyesuaian tarif. Meski persentase pastinya belum diumumkan, pemerintah menegaskan skema serupa akan diterapkan dengan mempertimbangkan tren harga global.
Strategi Penyesuaian Berbasis Harga Komoditas
Kebijakan royalti progresif ini dirancang untuk memastikan kontribusi sektor minerba terhadap APBN tetap optimal, terutama saat harga komoditas melonjak. Mekanisme ini diharapkan mengurangi risiko kerugian negara ketika harga mengalami volatilitas tinggi.
“Dengan skema ini, semakin tinggi harga komoditas, semakin besar pula royalti yang masuk ke kas negara. Namun, kami tetap memastikan tarif tidak membebani industri,” tambah Yuliot.
Dampak pada Investasi dan Industri Tambang
Kenaikan royalti berpotensi memengaruhi profitabilitas perusahaan tambang, terutama yang bergerak di hilirisasi nikel. Namun, pemerintah meyakini kebijakan ini tidak akan mengganggu iklim investasi, mengingat permintaan global terhadap nikel untuk baterai kendaraan listrik tetap tinggi.
Analis pasar memperkirakan, penyesuaian tarif justru dapat mendorong efisiensi dan inovasi di sektor pertambangan, sekaligus memperkuat kontribusi minerba terhadap pendapatan negara. Pada 2024, PNBP sektor minerba menyumbang Rp127 triliun, dan angka ini diproyeksikan meningkat signifikan pasca-revisi tarif.
Tahap Selanjutnya
Revisi PP No. 26/2022 ditargetkan rampung dalam beberapa bulan ke depan. Pemerintah akan menggelar konsultasi publik dengan pemangku kepentingan, termasuk asosiasi tambang dan pelaku usaha, untuk memastikan transparansi kebijakan.
Dengan kebijakan ini, Indonesia semakin mempertegas komitmennya untuk mengoptimalkan sumber daya alam demi kesejahteraan masyarakat, sembari menjaga daya saing industri di kancah global.(KDR)
