Listrik Indonesia | Mantan Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), akhirnya diperiksa oleh Kejaksaan Agung terkait dugaan mega korupsi yang nilainya disebut mencapai hampir Rp1.000 triliun. Namun, Ahok mengungkapkan bahwa penyidik memiliki data yang jauh lebih lengkap dibandingkan informasi yang ia ketahui.
Pengamat energi sekaligus mantan anggota Tim Anti Mafia Migas, Fahmy Radhi, menyoroti kasus ini sebagai bukti bahwa praktik korupsi dalam industri energi bukanlah hal baru. Ia membandingkannya dengan skandal Mafia Migas yang pernah terjadi di Petral, anak perusahaan Pertamina yang berbasis di Singapura. "Saat itu, Tim Anti Mafia Migas menemukan adanya perampokan uang negara melalui modus bidding dan markup blending impor BBM Premium (RON 88) yang dilakukan oleh Petral," ungkap Fahmy.
Sebelum pemeriksaan Ahok, media sosial dihebohkan oleh rekaman yang diklaim sebagai hasil penggeledahan rumah pengusaha Riza Chalid. Rekaman tersebut, bersama pengakuan sembilan tersangka, mengindikasikan adanya jaringan korupsi terorganisir yang melibatkan elite pemerintahan, aparat keamanan, serta pengusaha dan kroninya. Hingga kini, belum ada pihak yang secara tegas membantah atau membenarkan keberadaan rekaman tersebut.
Fahmy mengingatkan bahwa kasus serupa pernah terjadi dalam skandal Petral. Saat itu, Tim Anti Mafia Migas melaporkan temuannya ke KPK, yang mengakui memiliki informasi sejenis namun kesulitan dalam penyelidikan karena Petral berada di luar yurisdiksi Indonesia. Tim kemudian merekomendasikan penghentian impor BBM Premium dan pembubaran Petral sebagai langkah untuk menutup celah korupsi. Presiden Joko Widodo kala itu menyetujui rekomendasi tersebut. Namun, rencana Menteri ESDM Sudirman Said untuk menyerahkan hasil audit forensik KordaMentha ke KPK disebut mendapat penolakan dari Presiden, sehingga penyelidikan kasus Petral terhenti tanpa ada tersangka.
Menurut Fahmy, penyidikan mega korupsi saat ini harus berjalan transparan dan tuntas agar tidak bernasib sama seperti kasus
