Kementerian ESDM Beberkan Alasan Kenaikan Royalti Tambang

Kementerian ESDM Beberkan Alasan Kenaikan Royalti Tambang
Ilustrasi Tambang Batu Bara

Listrik Indonesia | Pemerintah Indonesia memastikan bahwa kebijakan penyesuaian tarif royalti mineral dan batu bara (minerba) tidak akan memberatkan pelaku usaha. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap fluktuasi harga komoditas global sekaligus menjamin stabilitas penerimaan negara. 

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, menegaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk menciptakan keseimbangan antara kepastian bisnis bagi perusahaan dan optimalisasi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Yuliot menjelaskan, kenaikan royalti PNBP dari Penjualan Hasil Tambang (PHT) merupakan langkah strategis menyusul tren kenaikan harga beberapa komoditas minerba di pasar internasional. Namun, pemerintah juga mempertimbangkan komoditas yang harganya mengalami penurunan. “Dengan sistem tarif progresif, kami memberikan kepastian bagi pelaku usaha sekaligus menjamin penerimaan negara tetap optimal,” ujarnya di Jakarta, Jumat (14/03/2025).

Kebijakan ini telah melalui koordinasi lintas kementerian, termasuk Kementerian Keuangan, ESDM, dan Sekretariat Negara. Revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 26/2022 untuk mineral dan PP No. 15/2022 untuk batu bara menjadi dasar penyesuaian tarif. “Kami harap penyesuaian ini dapat segera diumumkan setelah melalui proses finalisasi,” tambah Yuliot.

Detail Penyesuaian Tarif Royalti Minerba
Berikut ringkasan perubahan tarif royalti PNBP untuk komoditas utama:

  1. Batu Bara
    • Tarif Baru: Naik 1% (HBA ? US$90/ton) hingga maksimal 13,5%. Untuk IUPK, tarif 14–28%.
    • Sebelumnya: Progresif sesuai HBA; IUPK 14–28%.
  2. Nikel & Turunannya
    • Nikel: Progresif 14–19% (sebelumnya flat 10%).
    • Nickel Matte: Progresif 4,5–6,5% (dihapus windfall profit).
    • Feronikel & Nickel Pig Iron (NPI): Progresif 5–7% (dari sebelumnya 2% dan 5%).
  3. Tembaga
    • Bijih Tembaga: Progresif 10–17% (dari 5%).
    • Konsentrat Tembaga: Progresif 7–10% (dari 4%).
    • Katoda Tembaga: Progresif 4–7% (dari 4%).
  4. Logam Mulia
    • Emas: Progresif 7–16% (dari 3,75–10%).
    • Perak: Naik ke 5% (dari 3,25%).
    • Platina: Naik ke 3,75% (dari 2%).
  5. Timah
    • Tarif Baru: Progresif 3–10% (sebelumnya flat 3%).

Sistem tarif progresif dinilai sebagai solusi adil karena menyesuaikan dengan harga acuan (HMA/HBA). Saat harga naik, kontribusi royalti meningkat, tetapi tetap melindungi pelaku usaha saat harga turun. Kebijakan ini juga menghapus skema windfall profit untuk komoditas seperti nickel matte, mengurangi beban tambahan di masa keuntungan tinggi.

Dampak bagi Pelaku Usaha dan Negara

Pemerintah menekankan bahwa penyesuaian ini tidak mengganggu iklim investasi. “Ini win-win solution. Perusahaan tetap bisa beroperasi dengan kepastian, sementara negara mendapatkan pendapatan optimal dari sumber daya alam,” tegas Yuliot. Sektor minerba menyumbang 4,3% terhadap PDB Indonesia (2024), sehingga kebijakan ini diharap menjaga kontribusi sektor tambang bagi perekonomian nasional.

Meski demikian, pelaku usaha diharap tetap efisien dan berinovasi menghadapi dinamika pasar. Pemerintah juga berkomitmen memantau implementasi kebijakan untuk memastikan tidak ada distorsi dalam praktiknya. Dengan langkah ini, Indonesia berupaya memperkuat posisinya di pasar global sembari menjaga kedaulatan ekonomi.(KDR)

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#Tambang

Index

Berita Lainnya

Index