Listrik Indonesia | Peristiwa Fukushima Daiichi pada 2011 memberikan dampak besar bagi industri nuklir global, mendorong banyak negara maju untuk mengurangi atau menutup Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Namun, kondisi saat ini menunjukkan kebangkitan kembali nuklir sebagai sumber energi utama. Negara-negara di Eropa, Amerika Serikat, hingga Asia Timur mulai menghidupkan kembali reaktor lama serta merencanakan pembangunan PLTN baru.
Mengapa tren ini terjadi? Berikut beberapa faktor utama yang mendorong kebangkitan energi nuklir:
1. Krisis Energi dan Harga Listrik yang Tidak Stabil
Meskipun energi terbarukan berkembang pesat, tantangan intermitensi daya masih menjadi kendala utama. Krisis energi di Eropa akibat invasi Rusia ke Ukraina pada 2022 memperburuk situasi ini dengan lonjakan harga gas global serta ketidakstabilan pasokan energi terbarukan.
Di Inggris dan Jerman, harga listrik melonjak drastis akibat gangguan pasokan gas. Sebagai respons, negara-negara ini memperluas kapasitas nuklirnya. Inggris telah mengumumkan pembangunan reaktor nuklir baru serta reformasi regulasi PLTN guna meningkatkan keamanan energi dan mengurangi ketergantungan pada pasar energi global.
2. Nuklir Sebagai Solusi Net-Zero Emissions
Hampir semua negara maju menargetkan Net-Zero Emissions (NZE) pada 2050. Laporan International Energy Agency (IEA) menunjukkan bahwa tanpa nuklir, target ini sulit tercapai. PLTN mampu beroperasi 24/7 tanpa bergantung pada kondisi cuaca, menjadikannya sumber energi yang andal.
Pertumbuhan data center dan kecerdasan buatan (AI) yang membutuhkan konsumsi listrik besar juga menjadi faktor pendorong. PLTN menjadi solusi ideal karena mampu menyediakan listrik dalam jumlah besar secara konsisten dan tanpa emisi karbon. Jepang yang sempat menutup reaktor nuklirnya pasca-Fukushima kini mulai mengaktifkannya kembali sebagai bagian dari strategi dekarbonisasi.
3. Teknologi Nuklir Baru yang Lebih Aman dan Efisien
Kemajuan teknologi nuklir turut berperan dalam mengubah persepsi terhadap PLTN. Reaktor Generasi IV dan Small Modular Reactor (SMR) menawarkan solusi yang lebih aman, fleksibel, dan hemat biaya dibandingkan reaktor konvensional.
SMR memiliki desain modular yang memungkinkan pembangunan lebih cepat dan biaya lebih rendah, sementara teknologi Generasi IV hadir dengan fitur keselamatan pasif yang dapat mencegah kecelakaan besar. Amerika Serikat mendukung pengembangan teknologi reaktor generasi baru dengan alokasi dana $900 juta untuk mempercepat desain dan implementasi teknologi ini.
4. Ekonomi PLTN Lebih Kompetitif Dibandingkan Batu Bara dan Gas
Dari sisi ekonomi, biaya listrik dari nuklir dalam jangka panjang semakin kompetitif dibandingkan batu bara dan gas. Dengan masa operasi yang bisa mencapai 60 hingga 80 tahun, PLTN menawarkan investasi jangka panjang yang lebih stabil dibandingkan sumber energi berbasis fosil yang rentan terhadap fluktuasi harga bahan bakar.
Prancis, yang dikenal sebagai negara dengan ketergantungan tinggi pada nuklir, telah mengumumkan rencana pembangunan 14 reaktor baru guna memastikan ketahanan energi mereka dalam beberapa dekade ke depan.
Apa yang Bisa Dipelajari Indonesia?
Fenomena kebangkitan nuklir ini memberikan pelajaran penting bagi Indonesia. Ketergantungan pada batu bara dan energi fosil lainnya membuat negara ini rentan terhadap fluktuasi harga energi global serta tekanan untuk mengurangi emisi karbon.
Persiapan PLTN bukanlah hal yang bisa dilakukan dalam waktu singkat. Diperlukan perencanaan matang, regulasi yang jelas, serta investasi dalam riset dan pengembangan sumber daya manusia. Jika Indonesia ingin mencapai target Net-Zero Emissions 2060, maka persiapan pembangunan PLTN sejak sekarang adalah langkah krusial.
Dengan meningkatnya tren global terhadap energi nuklir, kini pertanyaannya bukan lagi “Perlukah Indonesia memiliki PLTN?” tetapi “Kapan Indonesia akan memulainya?” Jika negara-negara maju saja kembali ke nuklir, Indonesia tidak boleh tertinggal. (Agnafan JF)
