Listrik Indonesia | Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia memegang peran dominan dalam pasar global. Dengan produksi mencapai 54,6 juta ton per tahun, Indonesia menyumbang sekitar 56–60% dari total produksi dunia yang berkisar 85 juta ton. Namun, meskipun memiliki keunggulan ini, harga minyak sawit Indonesia di pasar global masih sering tidak kompetitif.
Menurut Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, harga minyak sawit Indonesia saat ini lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lain seperti minyak kedelai dan minyak rapeseed.
"Harga minyak sawit kita di luar negeri saat ini mencapai 1.360 dolar per ton, sementara harga minyak kedelai hanya sekitar 1.080 dolar per ton. Seharusnya, minyak sawit kita selalu berada di bawah harga minyak kedelai dan rapeseed agar lebih kompetitif," ujar Sahat dalam video wawancaranya.
Salah satu faktor yang menyebabkan harga minyak sawit tidak terkendali adalah belum adanya mekanisme yang ditetapkan pemerintah untuk menentukan harga jual di dalam maupun luar negeri. "Kita adalah produsen terbesar, seharusnya kita bisa menetapkan harga sendiri, tetapi sampai saat ini belum ada pihak yang diberikan kewenangan untuk itu," tambahnya.
Ketergantungan pada Pasar Ekspor
Saat ini, konsumsi minyak sawit dalam negeri hanya sekitar 45% dari total produksi, sementara 55% lainnya bergantung pada ekspor. Sahat menekankan bahwa idealnya konsumsi domestik harus mencapai minimal 60% agar Indonesia memiliki kontrol lebih besar dalam menentukan harga di pasar internasional. "Kalau konsumsi dalam negeri kita bisa mencapai 60%, kita bisa lebih dominan dalam menentukan harga," katanya.
Selain itu, harga minyak sawit yang tinggi di luar negeri juga berpengaruh terhadap daya saing produk ini. Jika tidak segera diatasi, ekspor minyak sawit Indonesia bisa semakin melemah di pasar global.
Regulasi dan Edukasi Masyarakat
Salah satu kebijakan yang pernah dicanangkan pemerintah adalah mendorong agar seluruh minyak goreng sawit di pasar domestik dijual dalam kemasan. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan keamanan dan higienitas produk, serta memastikan sumbernya jelas. "Dengan minyak kemasan, masyarakat bisa tahu sumber produksinya dan siapa yang bertanggung jawab. Minyak curah sering kali tidak jelas asal-usulnya, bahkan bisa jadi minyak bekas atau daur ulang, yang tentunya berbahaya," ungkap Sahat.
Namun, edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya minyak kemasan masih membutuhkan waktu agar penerapannya bisa berjalan optimal.
Di sisi lain, harga minyak sawit dalam negeri juga perlu diatur dengan skema yang memberikan margin keuntungan bagi produsen, tanpa membuat harga menjadi terlalu tinggi bagi konsumen. "Pemerintah harus bisa membedakan harga minyak sawit dalam negeri dan ekspor, agar harga tetap terjangkau bagi masyarakat," kata Sahat.
Dampak pada Kepercayaan Konsumen
Kisruh harga minyak goreng belakangan ini juga mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap produk dalam negeri. Jika harga minyak sawit lokal terus meningkat tanpa regulasi yang jelas, ada kemungkinan konsumen akan beralih ke merek lain yang dianggap lebih stabil dalam kualitas dan harga, meskipun lebih mahal. "Kalau harga minyak sawit kita tidak diatur dengan baik, masyarakat bisa saja beralih ke merek lain yang lebih terpercaya, meskipun harganya lebih tinggi," jelas Sahat.
Pada akhirnya, dilema ini harus segera diatasi dengan kebijakan yang menyeimbangkan antara kepentingan produsen, pemerintah, dan konsumen. Indonesia memiliki peluang besar untuk mengontrol pasar minyak sawit global, tetapi tanpa strategi yang tepat, keunggulan ini bisa menjadi tantangan bagi industri nasional.
