Listrik Indonesia | Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2025 sebagai kerangka baru untuk pengenaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor pertambangan batu bara. Aturan ini menggantikan PP 15/2022 dan mulai berlaku pada 26 April 2025, dua minggu setelah diundangkan pada 11 April.
Salah satu poin penting dari regulasi ini adalah perubahan skema tarif royalti menjadi progresif. Artinya, besaran royalti yang harus dibayarkan pelaku usaha kini akan mengikuti fluktuasi Harga Batu Bara Acuan (HBA) dan kualitas kalori batu bara. Langkah ini ditempuh pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara sekaligus memperkuat pembiayaan transisi energi.
Skema Royalti Berdasarkan HBA
Tarif royalti dalam PP ini ditetapkan berdasarkan harga acuan batu bara. Untuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), berikut kisaran tarifnya:
- HBA < US$ 70/ton: 15%
- US$ 70 – < US$ 120/ton: 18%
- US$ 120 – < US$ 140/ton: 19%
- US$ 140 – < US$ 160/ton: 22%
- US$ 160 – < US$ 180/ton: 25%
- ? US$ 180/ton: 28%
Tarif ini berlaku untuk tambang terbuka maupun bawah tanah, dengan ketentuan tambahan berdasarkan nilai kalor batu bara. Batu bara dengan kalori lebih tinggi dikenakan tarif lebih besar karena nilai jualnya pun lebih tinggi.
Penyesuaian Berdasarkan Kalori
PP ini juga mempertimbangkan kadar kalor batu bara dalam menentukan tarif royalti:
- ? 4.200 Kkal/kg: 4–17%
- 4.200–5.200 Kkal/kg: 5–21%
- > 5.200 Kkal/kg: 6–28%
Hal ini memberi insentif bagi produksi batu bara kalori rendah dan menjadi sinyal arah kebijakan energi nasional ke depan.
Tujuan dan Arah Kebijakan
Pemerintah menyampaikan bahwa pengaturan baru ini dirancang untuk mendukung tiga tujuan utama:
Peningkatan Penerimaan Negara
Dengan skema baru ini, PNBP dari sektor batu bara diperkirakan bisa mencapai US$ 5–23 miliar per tahun. Angka ini cukup signifikan untuk mendanai transisi energi nasional, termasuk skema pendanaan JETP (Just Energy Transition Partnership).
Transparansi Harga
PP ini mengatur bahwa perhitungan penghasilan kena pajak menggunakan harga tertinggi antara HBA dan harga jual aktual, guna menghindari manipulasi harga atau undervaluation.
Mendorong Transisi Energi
Sebagian dari peningkatan penerimaan akan dialokasikan untuk program energi baru terbarukan. Hal ini sejalan dengan target pemerintah menuju Net Zero Emission 2060.
Respons Pelaku Usaha
Beberapa perusahaan batu bara besar, termasuk PT Adaro Indonesia dan PT Arutmin Indonesia, menyatakan bahwa perubahan skema royalti ini akan meningkatkan beban operasional. Namun, sebagian pelaku usaha juga melihat adanya ruang positif, terutama bagi IUPK yang tarif royaltinya bisa turun untuk jenis batu bara tertentu.
Meski demikian, pelaku industri berharap pemerintah tetap menjaga keseimbangan antara penerimaan negara dan keberlanjutan usaha. Daya saing batu bara Indonesia di pasar ekspor juga menjadi perhatian utama.
Pengawasan dan Implementasi
PP 18/2025 memberi kewenangan kepada Kementerian ESDM untuk melakukan audit dan pengawasan atas pelaksanaan ketentuan ini. Perusahaan wajib melaporkan data produksi, harga jual, dan kualitas batu bara secara transparan. Pemerintah juga menyediakan ruang bagi pemegang izin untuk menyampaikan keberatan jika ada perbedaan dalam perhitungan royalti.
Tantangan ke Depan
Meski secara konsep PP ini cukup solid, implementasinya tidak tanpa tantangan. Mulai dari kesiapan sistem akuntansi di perusahaan tambang, koordinasi antar instansi, hingga kepatuhan pelaporan data akan sangat menentukan efektivitas kebijakan ini.
Kesimpulan
PP Nomor 18 Tahun 2025 merupakan tonggak baru dalam pengelolaan sektor pertambangan batu bara. Dengan pendekatan royalti yang lebih fleksibel dan adil, pemerintah berupaya menyeimbangkan antara kepentingan fiskal dan keberlanjutan. Namun keberhasilan aturan ini tetap bergantung pada transparansi pelaku industri serta kemampuan pemerintah dalam mengawasi implementasinya secara konsisten.
