Hidrogen Jadi Andalan Baru PLN

Hidrogen Jadi Andalan Baru PLN
General Manager PLN Indonesia Power UBP Priok, Buyung Arianto,

Listrik Indonesia | PT. PLN (Persero) menunjukkan keseriusannya dalam mendukung transisi energi bersih melalui pengembangan teknologi hidrogen hijau (green hydrogen). Hingga saat ini, sebanyak 22 unit Green Hydrogen Plant (GHP) telah dibangun di berbagai wilayah Indonesia. Langkah ini merupakan bagian dari strategi besar PLN dalam mendekarbonisasi sektor energi dan transportasi nasional menuju target Net Zero Emission (NZE) 2060.

General Manager PLN Indonesia Power UBP Priok, Buyung Arianto, menjelaskan bahwa GHP menjadi bukti nyata komitmen PLN dalam menghadirkan energi masa depan yang lebih bersih.

“Green hydrogen adalah bentuk kontribusi kami untuk mempercepat transisi energi. Teknologi ini bebas emisi karbon dan aplikatif untuk berbagai sektor seperti transportasi hingga pembangkitan listrik,” ungkap Buyung dalam wawancara khusus.

Mayoritas GHP yang dibangun PLN memanfaatkan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) sebagai sumber energi utama untuk menjalankan proses elektrolisis yaitu pemisahan molekul hidrogen dari air (H?O). Dari 22 unit GHP, 21 unit menggunakan listrik dari panel surya, sedangkan satu unit di Kamojang memanfaatkan listrik dari pembangkit panas bumi (geothermal).

“Meskipun banyak GHP berlokasi di area PLTU atau PLTGU, kami pastikan tidak ada keterlibatan energi fosil dalam proses produksinya,” tegas Buyung.

Dari Produksi Hingga Pengisian Kendaraan

Salah satu unit paling aktif dalam pengembangan hidrogen adalah PLN Indonesia Power UBP Priok. Di sini, hidrogen sudah digunakan sejak delapan tahun lalu, terutama sebagai pendingin generator pembangkit. Dengan kapasitas produksi tahunan sekitar 8 ton, sekitar 3,3 ton digunakan untuk operasional internal, dan sisanya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan transportasi.

Priok juga ikut dalam ekosistem uji coba kendaraan hidrogen yang digagas PLN. Hidrogen yang diproduksi dikirim ke Hydrogen Refueling Station (HRS) di Senayan, Jakarta, untuk dikompresi dari tekanan 150 bar menjadi 350 hingga 700 bar agar bisa digunakan sebagai bahan bakar kendaraan.

“Kita tidak hanya produksi, tapi sudah punya ekosistem awal: dari produksi, penyimpanan, kompresi, hingga distribusi ke HRS,” ujar Buyung.

Fasilitas di Priok memiliki infrastruktur lengkap dengan sistem penyimpanan hidrogen berkapasitas 203 ton, di mana sekitar 75 ton digunakan untuk pembangkit, dan 128 ton lainnya bisa dimanfaatkan untuk sektor lain.

Soal keamanan, Buyung memastikan bahwa sistem yang digunakan mengikuti standar internasional dengan deteksi kebocoran otomatis dan ventilasi khusus.

Potensi Kendaraan Hidrogen di Indonesia

Buyung melihat kendaraan hidrogen sebagai solusi jangka panjang untuk kota-kota besar seperti Jakarta.

“Kendaraan hidrogen itu tidak menghasilkan CO?, NOx, atau partikulat. Yang keluar hanya uap air. Cocok untuk kota dengan tingkat polusi tinggi,” jelasnya.

Tak hanya untuk kendaraan, hidrogen juga punya potensi besar dalam sektor pembangkitan, khususnya lewat skema co-firing di PLTGU. Dengan mencampurkan gas alam dan hidrogen, emisi CO? bisa ditekan secara signifikan.

“Kita sudah studi. Co-firing methane dan hidrogen efektif menurunkan emisi. Tinggal menunggu suplai hidrogen dalam skala besar,” tambah Buyung.

Tantangan dan Jalan ke Depan

Meski menjanjikan, tantangan pengembangan hidrogen di Indonesia tetap ada. Salah satunya adalah harga, yang saat ini berkisar antara Rp5.000–Rp10.000 per m³, tergantung lokasi dan distribusi. Selain itu, edukasi masyarakat juga masih minim.

“Banyak yang belum familiar, bahkan ada yang takut. Padahal secara teknologi dan keselamatan, ini sudah sangat teruji,” kata Buyung.

Buyung menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor antara PLN, pemerintah, industri otomotif, dan regulator—untuk membangun ekosistem hidrogen yang matang. Jika kendaraan hidrogen mulai diproduksi massal, PLN siap memperluas GHP dan HRS.

Belajar dari Jepang dan Eropa

Pengembangan hidrogen di Indonesia juga bisa mengambil pelajaran dari negara lain. Jepang telah memanfaatkan hidrogen sebagai energi pembangkit, sementara Eropa mulai menerapkan kendaraan hidrogen secara bertahap.

“Kita punya keunggulan: potensi energi terbarukan besar dan posisi geografis strategis. Kalau kita mulai sekarang, Indonesia tidak akan tertinggal,” kata Buyung optimistis.

Ia percaya bahwa dalam satu dekade mendatang, hidrogen akan menjadi salah satu pilar utama energi nasional, sejajar dengan listrik dan gas.

“Bayangkan, kendaraan hidrogen lalu lalang di jalan, pembangkit listrik menggunakan co-firing hidrogen, industri pakai hidrogen untuk proses manufakturnya. PLN siap jadi pionirnya,” pungkasnya.

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#Hidrogen

Index

Berita Lainnya

Index