Listrik Indonesia | Keberadaan sektor pertambangan yang berkembang di Sulawesi Tenggara belum berbanding lurus dengan peningkatan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Anggota Komisi II DPR RI, Fauzan Khalid, menyampaikan hal ini dalam kunjungan kerja spesifik Komisi II ke Provinsi Sulawesi Tenggara yang diikuti pertemuan dengan jajaran kepala daerah di Kendari, Rabu (14/5/2025).
Dalam pernyataannya, Fauzan mengungkapkan bahwa posisi Sulawesi Tenggara sebagai daerah kaya sumber daya tambang tidak memberi dampak nyata terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Terkait dengan posisi Sulawesi Tenggara sebagai daerah tambang di satu sisi, tapi di sisi lain tidak memiliki dampak terhadap APBD yang ada di Sulawesi Tenggara,” kata Fauzan.
Menurutnya, salah satu penyebab utama kondisi ini adalah persoalan administratif terkait domisili perusahaan tambang. Meskipun aktivitas pertambangan dilakukan di wilayah Sultra, banyak perusahaan yang tercatat memiliki alamat kantor pusat di provinsi lain. Hal tersebut memengaruhi distribusi dana bagi hasil (DBH), yang akhirnya tidak mengalir ke Sultra sebagai daerah penghasil.
“Bisa kita pastikan perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di Sulawesi Tenggara ini, pasti alamatnya bukan di Sulawesi Tenggara. Boleh jadi alamatnya di Makassar. Boleh jadi alamatnya di Jakarta, boleh jadi alamatnya di Jawa Timur, dan seterusnya. Ini berdampak kemudian terhadap pembagian DBH-nya,” tegasnya.
Sebagai langkah korektif, Fauzan mendorong penerapan kebijakan NPWP percabangan yang memungkinkan daerah penghasil tetap memperoleh bagian dari pendapatan pajak tanpa harus memindahkan alamat resmi perusahaan.
“Sebenarnya ada kebijakan dari Kementerian Keuangan, itu ada namanya NPWP percabangan, jadi perusahaan itu tidak harus memindah alamat perusahaan yang tidak harus tetap saja di tempat yang sekarang, tetapi Gubernur, kemudian Bupati Walikota memanggil atau mengundang KPP-nya setempat untuk mendesak perusahaan itu, membuat namanya itu NPWP percabangan,“ terang Fauzan.
Namun demikian, keterbatasan kewenangan pemerintah daerah dalam sektor pertambangan membuat ruang fiskal mereka terbatas. Hal ini karena sebagian besar regulasi terkait pertambangan berada di bawah otoritas pemerintah pusat.
Fauzan juga menekankan perlunya kerja sama yang lebih erat antara pemerintah daerah, DPRD, dan kantor pajak dalam mendorong pemenuhan hak fiskal dari aktivitas tambang. Ia menambahkan bahwa bentuk kontribusi yang saat ini dapat diandalkan daerah adalah melalui program tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR.
“Pintu masuknya hanya CSR, jadi karena itu tambang itu kan kewenangan pemerintah pusat, pintu masuk untuk membantu daerah itu hanya melalui CSR-nya, tidak bisa pajaknya. Ya mungkin yang bisa dimaksimalkan ya misalnya pajak kendaraan alat beratnya.” pungkas politisi Fraksi Partai NasDem ini.
