Listrik Indonesia | PT VKTR Teknologi Mobilitas Tbk (VKTR) kembali menunjukkan langkah nyatanya dalam mendukung ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Baru-baru ini, perusahaan tersebut menerima pesanan sebanyak 80 unit bus listrik dari PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) dan Perusahaan Umum Damri.
Direktur Utama VKTR, Gilarsi Wahju Setijono, menyatakan bahwa permintaan bus listrik terus meningkat secara signifikan. Fenomena ini, menurutnya, tidak lepas dari dorongan pemerintah yang gencar mengakselerasi transisi menuju kendaraan listrik sebagai bagian dari upaya menciptakan mobilitas yang lebih bersih dan efisien di Indonesia.
“Permintaan meningkat signifikan karena sebelumnya kita belum punya apa-apa, sekarang mulai terlihat hasilnya. Untuk kendaraan listrik penumpang saja pertumbuhannya bisa mencapai 600%. Komersial memang datang belakangan, tapi tren itu mulai terlihat,” ungkap Gilarsi dalam dialog wawancaranya, dikutip Sabtu (17/5/2025).
Sebagai pionir dalam pengembangan kendaraan listrik untuk transportasi umum, VKTR menghadapi tantangan besar sejak awal. Namun kini, masyarakat termasuk pengemudi dan kru bus semakin merasakan kenyamanan dan efisiensi dari penggunaan bus listrik. Hal ini turut mendorong operator seperti Transjakarta untuk semakin agresif dalam menggantikan armada berbasis diesel, dengan target seluruh bus di Jakarta termasuk layanan pengumpan (feeder) akan beralih ke listrik pada tahun 2030.
Produksi Lokal, Teknologi Anak Bangsa
Tidak hanya fokus pada suplai kendaraan, VKTR juga bersiap membangun pabrik kendaraan listrik dalam negeri. Tujuannya jelas: mewujudkan kendaraan listrik buatan Indonesia.
“TKDN itu penting, tapi ultimate goal kami adalah bisa dengan bangga mengatakan: produk ini dibuat di Indonesia oleh engineer Indonesia,” ujar Gilarsi.
Dengan estimasi populasi bus di Indonesia mencapai 200 ribu unit, potensi pasar bus listrik dalam jangka panjang sangat besar. Jika seluruh armada dikonversi menjadi kendaraan listrik hingga 2045, maka kebutuhan produksi bisa mencapai 10 ribu unit per tahun. Saat ini, kapasitas produksi VKTR masih di kisaran 3.000 unit per tahun, namun perusahaan melihat peluang ekspansi yang sangat luas.
Tantangan Infrastruktur dan Kebijakan
Meski peluang terbuka lebar, Gilarsi menekankan pentingnya dukungan dari sisi kebijakan dan infrastruktur. Salah satu hambatan utama adalah infrastruktur pengisian daya serta ketimpangan subsidi bahan bakar.
“Kendaraan listrik memang lebih mahal di awal, tapi biaya operasionalnya jauh lebih rendah dan umurnya panjang. Sayangnya, subsidi biosolar masih sangat besar, sehingga membuat adopsi kendaraan listrik kurang kompetitif,” tegasnya.
Ia pun berharap ada intervensi kebijakan yang lebih berani ke depan agar efisiensi mobilitas nasional dan target net zero emission bisa tercapai.
Selain aspek lingkungan, transisi ke kendaraan listrik juga membuka peluang ekonomi. Industri ini berpotensi menciptakan banyak lapangan kerja baru, sekaligus membuka ruang bagi generasi muda Indonesia untuk mengembangkan keahlian di bidang teknologi terbaru.
“Kalau SMK, politeknik, dan universitas teknik bisa masuk dan membangun kompetensi di sektor ini, kita bisa bersaing di panggung global,” tambah Gilarsi.
Namun, tantangan tetap ada. Indonesia masih tergantung pada negara lain, terutama China, untuk teknologi baterai. Meski memiliki bahan baku, kemampuan memproses hingga menjadi baterai siap pakai masih belum kuat. Di sisi lain, pembuatan komponen seperti motor listrik dinilai tidak terlalu rumit, namun butuh volume produksi besar agar kompetitif secara biaya.
“Kompetisi itu datang dari volume. Tanpa volume besar, kita tidak bisa menjalankan pabrik penuh dan efisien,” pungkasnya.
