Listrik Indonesia | Batu bara sub-bituminous adalah salah satu jenis batu bara yang berada di antara lignit dan bituminous dalam klasifikasi tingkat kematangan geologis. Jenis ini terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan purba yang mengalami proses pemadatan lebih lanjut dibandingkan lignit, namun belum sepenuhnya matang seperti bituminous. Dalam sistem klasifikasi yang digunakan industri, sub-bituminous dikenal memiliki kadar air dan kandungan zat mudah menguap (volatile matter) yang masih cukup tinggi, tetapi dengan kandungan energi yang lebih besar dari lignit. Inilah sebabnya sub-bituminous kerap digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik di berbagai negara.
Proses pembentukan sub-bituminous terjadi melalui tekanan dan suhu yang meningkat seiring waktu, menyebabkan struktur organik di dalamnya berubah menjadi lebih padat dan stabil. Kandungan karbon dalam batu bara ini berkisar antara 35–45 persen, dengan nilai kalor antara 19 hingga 26 megajoule per kilogram. Secara fisik, batu bara sub-bituminous cenderung berwarna coklat kehitaman, memiliki tekstur agak lunak, dan sering kali masih menunjukkan sisa-sisa struktur organik asalnya. Kandungan air dalam batu bara jenis ini relatif tinggi, sehingga menyulitkan transportasi jarak jauh dan menambah risiko pembakaran spontan jika tidak ditangani dengan baik.
Penggunaan utama dari batu bara sub-bituminous adalah sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Banyak pembangkit listrik yang dibangun berdekatan dengan tambang sub-bituminous untuk mengurangi biaya logistik dan memanfaatkan langsung sumber energi tersebut. Salah satu keunggulan dari jenis batu bara ini adalah kandungan sulfur atau belerangnya yang rendah, biasanya di bawah satu persen. Kondisi ini membuatnya lebih ramah lingkungan dalam hal emisi sulfur dioksida (SO?), gas penyebab hujan asam yang menjadi perhatian dalam pengendalian polusi udara.
Cadangan batu bara sub-bituminous tersebar di beberapa negara, dengan yang terbesar berada di Amerika Serikat, khususnya di kawasan Powder River Basin. Australia, Rusia, dan beberapa negara di Eropa Timur juga memiliki tambang sub-bituminous berskala besar. Di negara-negara tersebut, jenis batu bara ini menjadi pilihan utama dalam sistem kelistrikan, terutama karena ketersediaannya yang melimpah dan karakteristik emisinya yang relatif rendah dibanding batu bara berperingkat lebih tinggi.
Meski memiliki beberapa keunggulan, pemanfaatan batu bara sub-bituminous tetap menimbulkan persoalan lingkungan. Seperti jenis batu bara lainnya, pembakarannya menghasilkan emisi karbon dioksida (CO?) dalam jumlah besar. Selain itu, emisi nitrogen oksida (NO?) dan partikel halus (particulate matter) yang terbentuk selama proses pembakaran dapat berkontribusi terhadap pencemaran udara, sehingga pengoperasian PLTU sub-bituminous perlu dilengkapi dengan sistem pengendalian emisi yang memadai.
Dari sisi limbah, pembakaran batu bara sub-bituminous menghasilkan abu terbang yang mengandung silika, alumina, dan sejumlah logam berat. Limbah ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan tambahan dalam industri semen dan konstruksi, tetapi tetap memerlukan pengelolaan ketat untuk mencegah pencemaran lingkungan, khususnya tanah dan air di sekitar lokasi penyimpanan limbah.
Untuk menjawab tantangan lingkungan, beberapa teknologi telah dikembangkan. Di antaranya adalah sistem carbon capture and storage (CCS) untuk menangkap dan menyimpan emisi karbon, serta teknologi pengeringan batu bara untuk meningkatkan nilai kalor dan efisiensi pembakaran. Selain itu, praktik reklamasi tambang dengan pemulihan lahan dan penanaman kembali vegetasi juga semakin menjadi syarat penting dalam operasi pertambangan modern.
Secara keseluruhan, batu bara sub-bituminous tetap memegang peran penting dalam pemenuhan kebutuhan energi di banyak negara. Karakteristiknya yang seimbang—antara kandungan energi, tingkat polusi, dan ketersediaan—membuatnya menjadi salah satu opsi paling realistis dalam sistem energi berbasis batu bara. Namun, keberlanjutan penggunaannya di masa depan akan sangat bergantung pada penerapan teknologi ramah lingkungan dan kebijakan pengelolaan yang bertanggung jawab.
