Listrik Indonesia | Ketua Komisi VI DPR RI, Anggia Erma Rini, menyoroti pengelolaan timah nasional yang dinilai belum optimal, terutama dalam hal tata kelola dan tata niaga. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI dengan sejumlah pemangku kepentingan di bidang perdagangan dan ekspor timah, Anggia mengungkapkan keprihatinannya terhadap potensi kerugian negara yang sangat besar akibat lemahnya pengawasan terhadap komoditas strategis ini.
Menurut Anggia, kasus korupsi yang melibatkan tata niaga timah diperkirakan menimbulkan kerugian negara hingga Rp300 triliun, yang mana sebagian besar — sekitar Rp271 triliun — disebabkan oleh dampak kerusakan lingkungan. Pernyataan ini disampaikannya saat memimpin rapat bersama dengan pejabat dari Kementerian Perdagangan dan perwakilan Asosiasi Eksportir Timah di Gedung DPR RI, Senin (19/5/2025).
“Indonesia adalah negara penghasil timah terbesar ketiga di dunia, tapi kita tidak punya kuasa menentukan harga. Bahkan pasokan terbesar timah justru diakui berasal dari Malaysia dan Singapura — negara yang cadangan tambangnya jauh di bawah kita, malah diakui oleh dunia internasional,” jelas Anggia.
Ia menilai bahwa kondisi ini mencerminkan kelemahan regulasi serta lemahnya pengawasan terhadap industri timah nasional. Padahal, Indonesia memiliki cadangan timah yang besar, terutama di Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Kalimantan. Namun, negara-negara dengan cadangan lebih kecil justru memiliki pengaruh lebih besar dalam menentukan harga di pasar global.
“Ini bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga soal citra dan kedaulatan. Timah ilegal masuk ke rantai pasok tanpa bisa dideteksi, lalu diselundupkan ke luar negeri. Negara dirugikan dua kali: dari sisi penerimaan dan dari sisi reputasi,” ujar Anggia.
Dalam rapat tersebut, ia juga menyoroti maraknya aktivitas tambang ilegal yang sebagian besar dijalankan oleh masyarakat lokal tanpa akses legalitas dan perlindungan kerja yang memadai. Menurutnya, pembentukan koperasi rakyat atau BUMDes dapat menjadi solusi agar penambangan rakyat lebih terorganisir dan terpantau.
Lebih lanjut, Anggia menyampaikan bahwa Indonesia saat ini belum memiliki posisi strategis dalam menetapkan harga timah di pasar global, meskipun memiliki cadangan besar. “Kita punya barangnya, tapi tidak punya suara. Kita hanya menyaksikan kekayaan kita diakui oleh negara lain. Ini bukan sekadar ironis, ini memalukan,” ungkapnya.
Sebagai bentuk respons, Komisi VI menyatakan dukungan terhadap penerbitan Peraturan Presiden terkait mineral kritis dan strategis. Komisi juga mendorong pemerintah untuk mengevaluasi semua peraturan yang terkait dengan tata niaga timah, guna menciptakan sistem yang profesional dan transparan.
"Kita bukan sekadar menambang dan menjual. Kita harus bisa mengelola, mengawasi, dan menentukan harga. Kalau tidak, kita hanya jadi penonton yang merugi," tegas Anggia.
Dalam penutupnya, Anggia menyampaikan harapan agar pengelolaan timah di masa mendatang tidak lagi hanya berfokus pada eksploitasi, melainkan juga memperhatikan aspek kedaulatan ekonomi dan keadilan sosial. “Harus ada perubahan menyeluruh. Kita bukan hanya penghasil, kita harus menjadi penentu. Indonesia harus punya muka di pasar global,” tutupnya.
