Listrik Indonesia | Industri telekomunikasi di Indonesia masih menunjukkan prospek pertumbuhan yang positif untuk tahun 2025, meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan yang cukup berat. Hal ini diungkapkan oleh Henri, Presiden Indocyber sekaligus Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).
Menurut Henri, telekomunikasi kini sudah menjadi kebutuhan dasar masyarakat, apalagi dengan populasi Indonesia yang hampir mencapai 300 juta jiwa. “Ini jelas menjadi pasar potensial yang sangat besar,” ujarnya dalam siaran wwancaranya. Senin, (2/6/2025).
Selain itu, dorongan kuat dari pemerintah dalam digitalisasi di berbagai sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan keuangan turut menjadi pendorong utama pertumbuhan industri ini. Namun, meskipun prospeknya cerah, tantangan besar masih menghantui pelaku industri telekomunikasi. Salah satu beban utama adalah kebutuhan investasi yang terus meningkat, baik dari sisi Capex (capital expenditure) maupun Opex (operational expenditure).
“Kita dituntut memperluas infrastruktur ke daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) yang jelas tidak menjanjikan Return on Investment (ROI) dengan cepat,” kata Henri.
Tantangan lainnya adalah persaingan yang semakin ketat. Jumlah penyedia jasa internet (ISP) di Indonesia saat ini sudah mencapai hampir 1.300, dengan ratusan lainnya masih dalam antrean untuk masuk ke pasar. Kondisi ini memicu perang tarif yang sengit dan berimbas pada semakin menipisnya margin keuntungan. “Perang tarif ini jika tidak diatur bisa merugikan masyarakat karena kualitas layanan juga akan menurun,” tambahnya.
Regulasi pemerintah menjadi aspek penting yang diharapkan bisa memberikan perlindungan, terutama melalui penetapan harga batas bawah untuk mencegah persaingan tidak sehat. “Regulasi yang tepat bisa menjadi penyelamat agar industri tetap sehat dan konsumen mendapat layanan yang berkualitas,” tegasnya.
Dalam menghadapi situasi ini, Henri menyampaikan bahwa perusahaan seperti Indo Cyber harus menerapkan strategi yang lebih matang. “Kita harus diversifikasi pendapatan, tidak hanya mengandalkan satu segmen pasar saja,” jelasnya. Selain itu, efisiensi biaya melalui digitalisasi proses bisnis juga menjadi kunci penting agar perusahaan bisa bertahan.
Ketika ditanya soal dampak kenaikan biaya infrastruktur, logistik, dan energi, Henri mengungkapkan bahwa saat ini mereka sedang meninjau ulang proyek-proyek infrastruktur yang dianggap memberikan return tertinggi. “Kita harus fokus ke pasar yang benar-benar potensial dan menghindari proyek yang kurang menguntungkan,” katanya.
Selain itu, kolaborasi antar pelaku industri juga menjadi strategi penting. Dengan begitu, biaya operasional bisa ditekan dan sumber daya dapat dimaksimalkan bersama-sama. “Kita juga saling berbagi data dan tren terkini supaya tidak tertinggal dengan perkembangan teknologi yang sangat cepat,” ungkapnya.
Penetrasi internet di Indonesia sendiri saat ini sudah mencapai sekitar 80% dari total populasi, menurut data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Namun, pembangunan infrastruktur digital masih terkonsentrasi di kota-kota besar, sementara wilayah pelosok, khususnya daerah 3T, masih jauh dari pemerataan layanan.
