Rusia Dianggap Mitra Ideal untuk Teknologi Nuklir Indonesia

Rusia Dianggap Mitra Ideal untuk Teknologi Nuklir Indonesia
Ilustrasi PLTN

Listrik Indonesia | Rencana Pemerintah Indonesia untuk menjalin kerja sama dengan Rusia dalam pengembangan teknologi nuklir mendapat tanggapan positif dari kalangan ilmuwan. Peneliti dari Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), Rohadi Awaludin, menyebut keputusan Presiden Prabowo memilih Rusia sebagai mitra strategis merupakan langkah yang tepat dan visioner.

Menurut Rohadi, Rusia dikenal sebagai salah satu negara dengan rekam jejak panjang dan pengalaman luas dalam pengembangan teknologi nuklir, baik untuk pembangkitan listrik maupun untuk keperluan di luar sektor energi.

“Rusia memiliki sejarah yang sangat kuat dalam memanfaatkan energi nuklir, termasuk di sektor kesehatan, industri, hingga pertanian. Ini menjadi salah satu alasan mengapa kerja sama ini sangat potensial untuk dikembangkan,” jelas Rohadi yang juga merupakan peneliti senior di bidang nuklir.

Ia mengungkapkan, jejak keberhasilan Rusia dalam teknologi nuklir bisa ditelusuri sejak tahun 1954, ketika Uni Soviet membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama di dunia di Obninsk, sekitar 100 kilometer dari Moskow. PLTN tersebut memiliki kapasitas 5 megawatt dan menjadi pelopor pemanfaatan energi nuklir untuk kebutuhan sipil.

Selama era Perang Dingin, lanjut Rohadi, Uni Soviet mengembangkan sejumlah teknologi reaktor, seperti RBMK dan VVER. Reaktor RBMK sempat digunakan di PLTN Chernobyl, namun pasca insiden besar itu, Rusia fokus mengembangkan tipe VVER, termasuk varian VVER-1200 yang merupakan reaktor generasi III+ dengan fitur keselamatan canggih dan masa operasi hingga enam dekade.

“Reaktor VVER-1200 sudah digunakan secara luas di berbagai negara seperti India, Turki, Mesir, dan Bangladesh. Ini menunjukkan bahwa teknologi Rusia sudah teruji dan dipercaya dunia,” tambahnya.

Tak hanya itu, Rusia juga unggul dalam pengembangan Small Modular Reactor (SMR), yakni reaktor skala kecil yang efisien dan fleksibel. Salah satu contohnya adalah RITM-200 yang tersedia dalam versi terapung maupun darat, masing-masing memiliki kapasitas hingga 55 megawatt listrik dan mampu beroperasi tanpa isi ulang bahan bakar selama 6–7 tahun.

Namun, Rohadi mengingatkan bahwa kerja sama ini tidak lepas dari tantangan, terutama dalam hal persepsi publik dan dinamika geopolitik global. “Isu-isu seperti ingatan publik terhadap tragedi Chernobyl dan ketegangan politik internasional bisa memengaruhi penerimaan kerja sama ini,” ujarnya.

Ia menilai penting bagi pemerintah untuk mengedepankan strategi komunikasi dan edukasi publik yang kuat agar masyarakat memahami bahwa teknologi nuklir modern sudah jauh lebih aman.

Di sisi lain, Rohadi menyayangkan tidak adanya lembaga khusus seperti BATAN yang dulu berperan dalam sosialisasi dan pengembangan teknologi nuklir di Tanah Air. Sejak BATAN dilebur ke dalam BRIN, belum ada institusi yang secara spesifik bertanggung jawab atas edukasi publik mengenai energi nuklir.

“Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk membentuk kembali lembaga sejenis BATAN guna memperkuat pemahaman masyarakat dan meningkatkan literasi energi nuklir nasional,” sarannya.

Ia juga menggarisbawahi pentingnya perumusan skema kerja sama yang selaras dengan kepentingan diplomatik Indonesia. “Di tengah ketegangan geopolitik global, pemerintah harus cermat dalam menjalin hubungan dengan Rusia agar tidak menimbulkan dampak terhadap hubungan Indonesia dengan mitra strategis lainnya,” tutup Rohadi.

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#PLTN

Index

Berita Lainnya

Index