Current Date: Selasa, 18 November 2025

Ketika Cangkang Sawit Lebih Laku Diekspor, Bagaimana Nasib Cofiring?

Ketika Cangkang Sawit Lebih Laku Diekspor, Bagaimana Nasib Cofiring?
Biomassa untuk Co-firing PLTU

Listrik Indonesia | Pemerintah menargetkan pemanfaatan 9 juta ton biomassa pada 2030 untuk mendukung transisi energi dan pencapaian net zero emission. Namun, di tengah optimisme itu, muncul dilema serius: bahan baku utama seperti cangkang sawit justru lebih banyak mengalir ke pasar ekspor ketimbang untuk kebutuhan domestik, khususnya program cofiring di PLTU. 

Data PLN Energi Primer Indonesia (EPI) menunjukkan, pasokan biomassa untuk cofiring PLTU baru mencapai 1,6 juta ton pada 2024. Angka ini masih jauh dari target ambisius pemerintah. Sementara itu, permintaan cangkang sawit dari luar negeri terus meningkat, bahkan tetap tinggi meski dikenakan tarif ekspor. 

Direktur Biomassa PLN EPI, Hokkop Situngkir, mengakui peluang pasar biomassa sangat besar, baik domestik maupun internasional. “Kuncinya adalah menjaga kesinambungan pasokan dan memastikan standar teknis seperti SNI terpenuhi,” ujarnya dalam Workshop “Optimalisasi Peluang Usaha Bagi Pengusaha Muda” beberapa waktu lalu di Jakarta. 

Antara Energi Hijau dan Godaan Pasar Ekspor 

Daya tarik ekspor biomassa, terutama ke Jepang dan Korea Selatan, tidak bisa dipandang remeh. Harga yang lebih menguntungkan di pasar global membuat pelaku usaha sering kali lebih memilih menjual ke luar negeri ketimbang memenuhi kebutuhan PLN. Akibatnya, ketahanan pasokan biomassa untuk cofiring di dalam negeri terancam. 

Padahal, program cofiring digadang-gadang sebagai tulang punggung pengurangan emisi sektor ketenagalistrikan. Tanpa pasokan biomassa yang stabil dan berkelanjutan, target transisi energi bisa tergelincir. 

Kesenjangan Regulasi dan Insentif 

Persoalan lain muncul pada mekanisme harga. Biomassa masih sangat dipengaruhi fluktuasi batu bara. Jika harga batu bara turun, biomassa menjadi kurang kompetitif, sehingga investor enggan membangun industri pengolahan di dalam negeri. Tanpa kebijakan indeksasi harga yang jelas, pengembangan bioenergi akan sulit bersaing dengan kepentingan ekspor. 

Di sisi lain, Permen ESDM 12/2023 dan RUPTL 2025–2034 sudah memberi peta jalan pemanfaatan biomassa. Namun, belum ada regulasi khusus yang menjamin biomassa strategis seperti cangkang sawit diprioritaskan untuk kebutuhan domestik. 

Risiko Ketergantungan Ekspor 

Jika tren ekspor biomassa terus dibiarkan, Indonesia berisiko kehilangan momentum dalam mengembangkan ekosistem bioenergi. Sementara negara lain sudah memanfaatkan biomassa tidak hanya untuk pembangkit listrik, tetapi juga bahan baku Sustainable Aviation Fuel (SAF), Indonesia bisa tertinggal karena bahan bakunya justru habis dijual keluar.

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#biomassa

Index

Berita Lainnya

Index