Listrik Indonesia | Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Muhammad Nasir, Anggota Komisi VII DPR RI mencecar Direktur Utama (Dirut) PLN Zulkifli Zaini.
Pasalnya, PLN dinilai tidak berani bersaing dalam membeli batu bara di tengah melambungnya harga batu bara dunia, yang mencapai US$ 153 per metric ton. Bahkan, anggota DPR itu sempat mengancam akan mengusulkan kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk memecat Zulkifli Zaini sebagai Dirut PLN kalau PLN tidak berani membeli Batubara dengan harga pasar.
Cecaran dan ancaman anggota DPR terhadap Dirut PLN terkait harga jual batubara kepada PLN sesungguhnya salah alamat karena penetapan harga batubara dalam skema Domestic Market Obligation (DMO) ditetapkan oleh Pemerintah. PLN sebagai operator hanya menjalankan keputusan Pemerintah. Berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 23K/30/MEM/2018, minimal 25% produksi batubara harus dijual ke PLN. Sedangkan Kepmen ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Batu Bara Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, DMO harga batu bara sektor ketenagalistrikan dipatok maksimal US$70 per metric ton untuk kalori 6.332 GAR. Jika harga pasar di bawah US$70 per metric ton, harga jual batubara ke PLN mengikuti Harga Batu bara Acuan (HBA) yang ditetapkan Pemerintah
Menurut Pengamat Energi UGM Fahmy Radhi, tujuan penetapan DMO harga Batubara adalah memenuhi kepentingan PLN, maupun kepentingan Penguasaha Batubara, tanpa menurunkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pembayaran royalty. Untuk itu, prinsip dalam penetapan DMO harga batubara adalah berbagi keuntungan dan kerugian (share gain, share pain), dengan skema batas atas dan batas bawah (ceiling and floor price). Pada saat harga batubara melambung tinggi, pengusaha menjual batubara ke PLN dengan harga batas atas (ceiling price) sebesar US$ 70 per metric ton. Sebaliknya, pada saat harga batubara terpuruk rendah, maka PLN harus membeli batubara dengan harga batas bawah (floor price) sesuai HBA ditetapkan.
"Jika skema DMO harus dihapuskan, maka PLN membeli batubara sesuai harga pasar. Dengan bauran energi sekitar 57% menggunakan batubara, pembelian batubara dengan harga US$ 153 per metric ton tentunya bisa menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik hingga 2 kali lipat dimana harga DMO sebesar US$70 per metric ton. Kalau PLN dipaksa tidak menaikkan tarif listrik, maka PLN menjual setrum kepada masyarakat di bawah harga keekonomian," ujar Fahmy kepada Listrik Indonesia. Rabu, (17/11).
Lebih lanjut, ia menjelaskan, dalam kondisi tersebut, Pemerintah harus memberikan kompensasi dari APBN dalam jumlah besar, bahkan bisa lebih dari 2 kali lipat. Namun, jika tarif adjustment diberlakukan, tarif listrik dinaikkan sesuai dengan harga keekonomian, maka beban rakyat, yang baru terpuruk akibat Pandemi Covid-19, akan semakin bertambah berat. Agar tidak membebani APBN dan memberatkan rakyat sebagai konsumen PLN, skema DMO janganlah dihapuskan.
"Kecuali, pemerintah memang mengutamakan kepentingan pengusaha batubara ketimbang kepentingan rakyat," tukasnya.