"Penerapan pajak karbon pada tahun 2022, sebagai disinsentif bagi kelembagaan yang melepas karbon, termasuk pembangkit listrik, dalam rangka menekan laju pelepasan karbon dioksida menuju zero emission, semestinya tidak secara otomatis diikuti dengan kenaikan tarif listrik," kata Mulyanto.
"Meski sekitar 70 persen pembangkit listrik kita adalah PLTU yang menjadi kontributor penting bagi pelepasan gas karbon dioksida. Namun tidak serta-merta penerapan pajak karbon ini langsung harus diikuti dengan peningkatan tarif listrik.
Ini kan dua hal yang berbeda. Pajak karbon tujuannya agar lembaga pelepas karbon dioksida ke udara tergerak untuk mengurangi pelepasan karbon mereka melalui penggunaan teknologi yang lebih bersih.
Karenanya selain “hukuman” berupa pengenaan pajak karbon, Pemerintah tetap berkewajiban untuk mendorong dan membantu pembangkit listrik untuk memperbaiki sistem pengolahan limbah udara mereka melalui berbagai skema insentif," lanjutnya.
Selain itu, kata Mulyanto, pajak karbon yang berhasil dikumpulkan tersebut ujung-ujungnya akan masuk kedalam kas negara, dan dapat digunakan untuk membayar subsidi atau kompensasi listrik kepada PLN.
"Ini kan soal “kantong kiri” dan “kantong kanan” bendahara negara. Jadi kalaupun penerapan pajak karbon dapat meningkatan biaya penyediaan listrik (BPP) PLN, namun secara total “net” dengan sumber baru penerimaan negara tersebut menjadi “impas”.
Artinya penerapan pajak karbon tidak serta-merta harus diikuti dengan kenaikan tarif listrik. Karenanya Pemerintah jangan menjadikan alasan penerapan pajak karbon ini sebagai sebab bagi kenaikan tarif listrik," ujar Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini.
Mulyanto menegaskan di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang belum berakhir, dimana ekonomi masyarakat, termasuk industri, belum pulih benar, semestinya Pemerintah tidak mengambil opsi kebijakan kenaikan tarif listrik. Hal ini akan menjadi kebijakan yang memberatkan masyarakat.
Untuk diketahui sebagai konsekuensi dari diundangkannya UU No. tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) diatur ketentuan mengenai pengenaan pajak karbon bagi lembaga atau perorangan yang melepas karbon dioksida ke udara.
Besaran pajak tersebut adalah sebesar Rp 30/kg karbon dioksida. Pemerintah berencana menerapkan pajak karbon ini untuk pembangkit listrik terhitung tahun 2022.