Listrik Indonesia | Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan climate change atau perubahan iklim merupakan tantangan global yang luar biasa rumit tapi memiliki pengaruh yang sangat nyata. Oleh karena itu, tak sedikit dana yang akan dikeluarkan untuk menuju transisi energi sebagai salah satu solusi mengatasi perubahan iklim.
Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) tahun 2021, berkomitmen untuk fokus pada target penurunan emisi 41% dengan bantuan internasional dalam penanganan iklim. Selain itu, Indonesia telah memiliki peta jalan untuk menuju emisi nol bersih pada 2060 atau lebih cepat. Untuk mencapai target itu, maka tak sedikit biaya yang akan dikeluarkan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menghadiri rangkaian pertemuan Conference of the Parties (COP) 26 di Glasgow, Skotlandia pada 1-2 November 2021. Pada pertemuan tersebut, Menkeu menyatakan bahwa komitmen semua negara mencapai emisi nol bersih (net zero emission/ NZE) pada 2050 menjadi prioritas utama. Menurutnya, negara maju harus menentukan target yang lebih agresif dan cepat.
“Kita semua menyadari bahwa semua negara perlu meningkatkan upaya mereka untuk mencapai emisi nol bersih global pada tahun 2050. Banyak negara akan memiliki berbagai perspektif dalam 'target nol bersih' ini dan tidak semua negara memiliki titik awal yang sama. Oleh karena itu, kita harus adil dan setara dalam menerjemahkan tujuan global menjadi target nasional. Sederhananya, negara maju harus menentukan target yang lebih ambisius – jauh sebelum tahun 2050. Sementara, negara berkembang melakukan upaya terbaik dalam mengurangi emisi mereka”, ungkap Menkeu pada Breakfast Meeting COP 26 Finance Day.
Kata, Sri Mulyani, pentingnya pemenuhan kewajiban negara maju untuk memobilisasi pendanaan iklim bagi negara berkembang, termasuk menyusun peta jalan untuk mencapai realisasi pendanaan US$ 100 miliar yang telah disepakati oleh negara-negara maju untuk mengatasi climate change.
Menkeu menekankan pentingnya pemenuhan kewajiban negara maju untuk memobilisasi pendanaan iklim bagi negara berkembang, termasuk menyusun peta jalan untuk mencapai realisasi pendanaan USD 100 miliar. Menkeu juga menyampaikan pentingnya pendanaan adaptasi secara signifikan, termasuk pendanaan berbasis hibah, mengingat banyak negara berkembang rentan menghadapi tantangan Covid-19. Selain itu, Menkeu mendorong agar negara berkembang dapat memperoleh mekanisme pendanaan yang mudah diakses, fleksibel, dan dengan prosedur yang sederhana.
Menkeu yang merupakan Co-Chair Koalisi Menteri Keuangan untuk Aksi Iklim bersama dengan Ketua Koalisi, Menkeu Finlandia, memegang peranan penting dalam diskusi dan tukar gagasan terkait upaya terbaik untuk mendukung percepatan implementasi Perjanjian Paris melalui pemanfaatan kebijakan ekonomi dan keuangan.
“Sangat penting untuk memastikan adanya pendanaan, investasi, dan mitigasi risiko pengelolaan keuangan,” ujarnya.
Dengan begitu, strategi pendanaan tengah dirancang oleh Kemenkeu meliputi kebijakan untuk mengoptimalkan dana publik baik bersumber dari domestik maupun internasional. Kerangka ini juga akan menyediakan opsi untuk menyediakan climate finance governance. Tak hanya itu, Indonesia juga telah menyiapkan berbagai mekanisme untuk mendorong investasi energi baru terbarukan.
Hal ini diimplementasikan ke dalam kebijakan seperti insentif pajak untuk energi baru dan terbarukan, pengembangan teknologi bersih, penandaan anggaran, dan Mekanisme Transisi Energi (ETM). Bahkan, OJK juga telah mewajibkan pelaku di industri jasa keuangan untuk menyusun laporan yang berisi tentang penerapan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Biaya besar ini menjadi tantangan bagaimana pemerintah harus menyusun kebijakan yang tepat. Sri Mulyani mengatakan untuk menurunkan tiga perempat dari 41% komitmen penurunan emisi di 2030, biayanya bisa mencapai Rp 3.500 triliun. Biaya itu tentu lebih mahal jika ingin sepenuhnya memenuhi komitmen tersebut.
"Kalau sektor energi itu kontribusinya bisa menurunkan CO2 sekitar 3/4 yaitu 450 juta ton ekuivalen, biaya untuk menurunkan itu 3.500 triliun," kata Sri Mulyani dalam Webinar Pertamina. Selasa, (7/12/2021).
Komitmen Indonesia itu akan memiliki banyak dampak terhadap APBN sebagai instrumen fiskal. Meski begitu, bukan berarti APBN tidak mampu bekerja untuk menuju transformasi energi ini. "APBN tidak boleh menjadi rusak, jadi APBN harus tetap sehat supaya bisa melakukan dan mendukung transformasi ekonomi dan pemulihan ekonomi, apalagi kita masih dalam situasi pandemi. Namun tidak berarti APBN tidak mampu untuk mulai bekerja dalam ikut mendesain bahkan melakukan signaling atau insentif untuk menuju transformasi energi ini," tuturnya.
ETM sendiri merupakan suatu bentuk pembiayaan campuran (blended finance) yang dirancang untuk mempercepat penghentian pembangkit listrik bertenaga batu bara dan membuka investasi untuk energi bersih. Saat ini, ADB sedang melakukan analisis kelayakan implementasi ETM terhadap beberapa PLTU di Indonesia, setelah sebelumnya melalui tahapan studi pra-kelayakan.
“Pengurangan ketergantungan pembangkit listrik bertenaga batu bara adalah satu bagian penting dari transisi menuju ekonomi rendah karbon, dan ETM akan mengantarkan Indonesia lebih dekat kepada pencapaian target tersebut, ujarnya.
Pertama, dibutuhkan pembiayaan untuk mengurangi aktivitas yang membutuhkan sumber daya batu bara. ETM harus membantu mobilisasi dana dengan biaya yang lebih murah untuk penghentian pembangkit listrik batu bara, atau membuatnya menjadi lebih murah.
"Kita sedang dalam proses berbicara dengan para pekerja dan produsen ini dan diskusinya berlangsung cukup produktif," kata Sri Mulyani.
Kedua, dibutuhkan pembiayaan yang rendah biaya untuk membangun energi terbarukan sebagai respons dari permintaan yang terus bertumbuh. Oleh sebab itu, ini adalah investasi dua sisi yang dibutuhkan untuk menghilangkan polluter, serta membangun energi yang baru dan lebih bersih.
Ketiga, Indonesia perlu membangun bauran kebijakan dari perspektif ekonomi politik untuk mendukung ETM. Oleh karena itu, Indonesia juga membentuk mekanisme pasar untuk karbon dan memperkenalkan mekanisme cap and trade, harga karbon, dan pajak karbon. Mekanisme ini diperlukan untuk menjadikan ETM lebih efisien dan kredibel, termasuk Measurement, Reporting and Verification (MRV).
Wanita yang pernah menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, menyebut tantangan lain dalam transisi energi adalah bagaimana meletakkan regulasi pengaktif dalam konsep platform ETM, seperti peranan dari Special Mission Vehicle (SMV) atau Investment National Authority (INA). Menurutnya, diperlukan mobilisasi dana dengan ongkos yang murah dan periode yang lebih panjang, untuk mengembangkan energi baru terbarukan, transmisi, dan distribusi.
Terkait rencana pemerintah untuk memensiunkan pembangkit batu bara pada pembangkit listrik, instansinya (Kemenkeu) pun masih memperhitungkan keuntungan dan kerugian terkait rencana tersebut.